Judul: Antara Timur dan Barat
Penulis: Al Makin
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Maret 2015
Tebal: XI + 258 hlm.
Indonesia adalah negara yang unik. Alamnya yang subur dan
sukunya yang banyak menjadikan karakternya begitu khas yang tidak bisa
disamakan dengan negara lain. Belum lagi terjadinya akulturasi budaya,
perjumpaan antar-suku, sehingga memunculkan karakter-karakter lainnya.
Hal ini berpengaruh pula dengan agama, utamanya agama
Islam. Geografi, iklim, dan manusia, akan membedakan cara beragamanya. Indonesia
merupakan penganut Islam terbesar di dunia. Hal ini menjadi daya tarik
tersendiri bagi para peneliti, khususnya peneliti dari Barat.
Al Makin dalam buku ini memaparkan betapa banyak para
peneliti Barat mengkaji Indonesia dari pelbagai aspek, terutama dari aspek
agama. Misanya William (bob) Hefner meneliti bagaimana Islam dan negara
berinteraksi di Indonesia. Hasil penelitiannya adalah Indonesia bisa menjadi
model masyarakat demokrasi di dunia Islam. Hefner cukup optimis dengan keterbukaan,
keragaman, dan perkembangan masyarakat Indonesia, demokrasi akan tumbuh (hlm.
152).
Ada juga Clifford Geertz, peneliti asal Amerika, yang meneliti
akulturasi Jawa dan Islam. Ia meneliti daerah Pare, Kediri. Ia mengikuti
tradisi setempat: upacara kelahiran, kematian, selametan, dan lain-lain. Ia kemudian
menyimpulkan varian atau model yang ada dalam masyarakat Jawa: Abangan, santri,
dan priyayi. Varian ini dijadikan kategorisasi umum oleh kalangan akademik
Indonesia sehingga menjadi populer.
Menurut Geertz Indonesia sangat sinkretik dan akomodatif
terhadap ajaran dan budaya lokal. Hal itu kemudian menjadi ciri khas Islam di
Indonesia (hlm. 169). Selain Hefner dan Geertz, masih banyak lagi peneliti
lainnya yang tidak kalah menarik seperti Mark Woodward, Willian Liddle, Peter
Carey, Ricklefs, dan lain-lain.
Banyaknya peneliti Barat meneliti Indonesia menimbulkan
pertanyaan, apa sesungguhnya motif mereka menjadikan Indonesia sebagai objek
kajiannya? Dalam ranah Islam dan Indonesia sebagai objek kajian, Al Makin
mengutip Mukti Ali, paling tidak ada 3 motivasi: kepentingan kolonialisasi,
misionaris, dan akademisi (hlm. 153).
Namun seiring perubahan zaman, motivasi itu sudah menjadi
bias, bahkan tidak berlaku lagi. Para peneliti baik dari Barat maupun Timur
sudah melebur. Tidak ada sekat lagi di antara peneliti. Lebih dari itu, mereka
saling belajar dan bersahabat. Mereka saling bekerjasama, bahu-membahu, memberi
informasi dan kemudahan satu sama lain. Sebut saja Martin van Bruinessen, Karel
Steenbrink, Nico Kaptein, dan lain-lain.
Uniknya lagi, tidak setiap peneliti Barat mempunyai
pandangan yang sama atas objek yang sama. Mereka bisa saja berbeda pandangan. Hal
ini menandakan bahwa peneliti Barat tidak perlu dicurigai secara berlebihan
seperti halnya pada zaman kolonialisme. Di zaman modern perbedaan
antar-peneliti adalah sebuah hal yang lumrah, bahkan dengan sesama peneliti
Barat sendiri.
Kritik Mark Woodward terhadap Clifford Geertz membuktikan
hal itu. Mark mengkritik atas kategorisasi yang diberikan Geertz yaitu santri,
priyayi, dan abangan. Geertz dianggap lalai dengan tradisi literatur Jawa yang
memuat konsep-konsep penting tentang Islam, sufi, dan tradisi Jawa. Geertz hanya
fokus pada satu daerah dan terobsesi pada pengamatan masyarakat, praktik
keseharian, sementara konsep-konsep penting terlupakan. Jadi hasil penelitian
Geertz dianggap ahistoris (hlm. 172-173).
Membaca buku ini kita seperti sedang diajak jalan-jalan
ke Barat (Amerika dan Eropa) dan Timur (Indonesia). Kita diperkenalkan dunia
akademik dan tokoh-tokoh pentingnya, siapa saja para peneliti Barat meneliti
Timur (orientalisme) dan peneliti Timur meneliti Barat (oksidentalisme). Era globalisasi
ini kesempatan mengkaji Barat dan Timur begitu mudah, nyaris tanpa ada
halangan. []
1 komentar:
Kunjungi Situs Gaming Online dengan deposit termurah, proses tercepat dan penarikan tanpa batas maksimal, Daftar Sekarang disini:
Judi Bola Tangkas
Agen Bola Tangkas Asia
Asia Tangkas
Tangkas Asia
Posting Komentar