Selasa, September 09, 2008

Politisasi Beras


Judul:Ironi Negeri Beras
Penulis: Khudori,
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Tahun: Juni 2008
Tebal: x+366 halaman termasuk indeks

Khudori, dalam opininya yang berjudul Mental Pemburu (Koran tempo, 21 agustus 2008) menceritakan bahwa masyarakat Indonesia masih bermental pemburu, salah satunya manusia pertanian. Manusia pertanian bermental pemburu adalah manusia yang dimanjakan oleh alam. Semua jenis pangan dan keperluan hidup sudah tercukupi dari alam sekitarnya. Orang tidak perlu kerja keras. Cukup tidur-tiduran saat perut lapar, tinggal pergi ke hutan atau nyemplung ke laut.

Rakyat Indonesia yang mestinya perannya benar-benar bermental petani, yang mampu memanfaatkan alam dengan teknologi yang terus berkembang, tapi malah bermental pemburu yang tidak memerhatikan proses, inginnya serba cepat dan instant. Dan

menggantungkan pada alam sepenuhnya. Konsekuensinya saat pertanian kita paceklik, rakyat Indonesia tidak bisa apa-apa, akhirnya mereka menjadi menderita. Naasnya, pemerintah memperparah keadaan itu dengan mempolitisir keadaan. Hal yang paling mencolok adalah pangan beras.

Persoalan besar nampaknya sangat dimengerti oleh Khudori. Oleh karena itu dia menulis buku berjudul Ironi Negeri Beras (2008) yang secara khusus membahas beras di Indonesia. Ada banyak alasan, salah satunya adalah me-nasi-kan seluruh pangan rakyat dari Sabang sampai Serut (bukan Merauke lagi). Padahal tidak semua orang Indonesia makan nasi. Ada daerah tertentu sudah terbiasa makan gaplek (Lampung, Jateng, Jatim), jagung (Jateng, Jatim, NT), sagu (Maluku, Irian Jaya), cantle/sorgum (NT), talas dan ubi jalar (Irian Jaya), dan itu tidak disadari oleh pemerintah yang hendak me-nasi-kan seluruh rakyat Indonesia.

Sejatinya, pemerintah berinisiatif untuk mencari cara bagaimana kita semua bisa beralih ke pangan non-beras. Sungguh tidaklah mustahil untuk melakukan hal itu, apalagi bagi kalangan menengah ke atas yang notabene-nya telah mengenal pasta, bakmi atau kentang. Inilah salah satu ciri lagi mental pemburu, kata Khudori, yaitu sulit untuk berubah dari pola lama, dalam hal ini pangan beras.

Pemerintah memang tidak melek pangan. Pangan tidak dijadikan instrument penting untuk memperoleh loyalitas rakyat. Padahal, jika penguasanya sadar, bahwa pangan adalah suatu hal yang paling dekat dengan rakyat. Jika pangan aman, rakyat pun tentram dan percaya pada penguasa. Sebaliknya, jika pangan terganggu, maka rakyat pun akan bringas.

Bahkan lebih dari itu, pada halaman 206, Khudori mengatakan bahwa pangan tak kalah penting dengan bahaya teroris, sedikit saja ada yang salah atau melakukan kebijakan yang salah dalam hal pangan, maka tak kan heran jika terjadi chaos. Dia memberi contoh, jika saja roti atau mie instant yang kita makan sehari-hari sudah dicampuri bahan tertentu yang tidak halal, pasti runyam. Contoh lain yang masih aktual adalah jenis padi Super Toy, yang dapat tiga kali panen tanpa menabur benih baru. Saat ini menjadi masalah, lantaran untuk panen kedua hasilnya mengecewakan. Akibatnya para petani rugi besar.

Persoalan pangan sepertinya memang sepele. Tapi di balik itu, sebetulnya tersimpan sesuatu yang strategis. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang bersifat jasadi, guna manusia dapat meneruskan keberlangsungan hidup. Dengan kata lain, jika seseorang menguasai pangan, maka dia sesungguhnya akan dapat menguasai siapa pun. Penguasa pangan bisa berbuat apa saja, bisa memberi keuntungan dan bisa juga memberikan kerugian pada orang lain. (halaman 207)

Oleh karena itu, jangan sampai masalah pangan dapat dikendalikan oleh penguasa yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Akibatnya bisa fatal, karena dapat mengguncang stabilitas politik Negara. Bangsa Indonesia sudah mengalami hal itu. Krisis pangan (baca: beras), mengguncang ekonomi dan politik kita, sehingga kita harus menjalani impor beras, sesuatu yang sangat ironis. Hal itu mengibaratkan bangsa kita seperti ayam mati di lumbung padi.

Tak ada jalan lain, sebagai bangsa agraris yang berbasis pangan, Indonesia harus bergerak menuju perbaikannya. Aparatur Negara harus mengomandonya, sambil terus memformulasi pelbagai cara guna mencapai ketahanan pangan, semua rencana dan rancangan pembangunan harus juga diarahkan untuk kepentingan kemajuan pangan. Terakhir, tentu saja rakyat pun menjadi bagian kemajuan pangan dalam hal ini yang mesti diberi motivasi kemudahan secara terus menerus.

3 komentar:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

ikut melansirkan ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/archives/1759

Unknown mengatakan...

Terimakasih telah mengulas buku IRONI NEGERI BERAS. Rehal buku ikut ditaut-lansir ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/1759