Jumat, Mei 29, 2015

Mendidik dengan Cinta


Judul: Pemimpin Cinta
Penulis: Edi Sutarto
Penerbit: Kaifa
Cetakan: I, Februari 2015
Tebal: 377 halaman

Lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain pula ikannya. Lain orang lain pula cara berpikirnya. Perumpamaan itu cocok pula dalam manajamen lembaga pendidikan (baca: sekolah). Lain direktur lain pula gaya manajerialnya. Sekolah bisa kita ibaratkan batu pualam. Memberikan setumpuk batu pualam kepada orang yang biasa-biasa saja, akan berakhir dengan setumpuk marmer saja. Namun letakkan batu itu di tangan seorang pemahat dan lihatlah apa yang terjadi! Pemahat itu melihatnya dengan mata seorang seniman.

Salah seorang “seniman” pendidikan adalah Edi Sutarto. Dia adalah direktur jaringan Sekolah Islam Athirah di empat wilayah yang berbeda di Sulawesi Selatan. Dari TK hingga SMA. Sebelum kehadirannya, manajemen semua sekolah tersebut amburadul. Latar belakangnya sebagai pendidik dan pernah aktif di dunia kesenian (teater Koma, Jakarta) mampu mengubah manajamen sekolah ke arah yang lebih baik, dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun, kurvanya terus melesat. Buku ini adalah puncak kecerdasan berbahasanya, dimana isinya adalah jejak rekam atas selama yang dikerjakannya dalam mengelola jaringan sekolah tersebut.  

Layaknya seniman-pemahat batu pualam, ia mengubah batu yang tidak bernyawa itu menjadi sebuah karya agung dengan kerja keras dan disiplin tinggi. Hal pertama yang ia lakukan adalah menginisiasi para guru, pimpinan, dan pengelola manajamen pendidikan. Ia ubah cara pandang (mindset) mereka yang keliru, dan ia dukung dengan sepenuh hati cara pandang yang benar.

Visi-misi dan master plan lembaga pendidikan yang ia buat bermula dari sebuah keterlambatan naik pesawat. Ceritanya, ketika pulang wawancara di Makassar dan hendak pulang ke Jakarta, dia ketinggalan pesawat, akibat salah melihat jam. Dia lupa memutar jarum jam tangannya, karena Makassar lebih cepat satu jam dari Jakarta. Dia lalu menginap di hotel. Di kamar hotel dia membuat draf konsep master plan Athirah. Tidak hanya membuat draf rumusan master plan, tetapi juga visi-misi-motto manajemen dan bentuk organisasinya. Di samping itu, dia juga telah membuat draf dokumen target serta strateginya. Hal itu kemudian menjadi SOP (Standard Operating Procedure) Sekolah Islam Athirah.

Pendekatan Cinta
Pada waktu kecil, Edi pernah mendengar pesan bapaknya, “Jadilah pemimpn cinta agar tumbuh energi positif. Dari energi positif inilah akan terpantul energi positif yang berlipat ganda untuk kamu” (hlm. 29). Kata-kata itulah yang selalu Edi ingat ketika menjalankan roda organisasi Sekolah Islam Athirah. “Saya berjuang menumbuhkan benih cinta dari lubuk hati yang dalam terhadap Athirah. Hamparan tantangan bagai gelombang ombak yang ada di depan saya telah menjelma menjadi motivasi cinta yang harus saya kuatkan menjadi seumpama karang,” ujarnya (hlm. 29).

Cinta menjadi dasar atas apa yang Edi lakukan dalam melakukan perubahan. Selain pesan ayahandanya, kata-kata Jalaluddin Rumi juga menjadi semboyannya di Athirah, yaitu “Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apa pun kecuali cinta.” Buku ini basah kuyup dengan kisah-kisah Edi Sutarto yang terkait dengan guru, siswa, dan orangtua. Semua kisahnya berbasis cinta.

“Bab Menyentuh Guru dan Karyawan”, salah satu kisahnya adalah memberi contoh kepada para guru dan karyawan untuk datang tepat waktu sesuai yang disepakati. Edi selalu datang lebih awal dari para guru dan karyawan. Ia mengontrol kebersihan lingkungan sekolah, taman, kadang juga turut menyiram bunga-bunga yang ada di taman. Ia menyapa siapa saja yang dijumpainya baik guru, siswa, maupun karyawan lainnya. Ia sapa dengan 6S, yaitu senyum, salam, sapa, semangat, sabar, dan syukur dalam bentuk doa buat mereka yang ia jumpai. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para guru.      

Pada “Bab Menyentuh Siswa”, ada salah satu yang Edi lakukan adalah memberi surprise buat para peserta didik. Suatu hari dia melihat beberapa siswa sedang membaca buku dengan khusyuk sekali. Salah satunya bernama Andi Fatimah. Edi mendekatinya dan bertanya tentang buku yang dibacanya. Setelah itu Edi menawarkan, “Kamu bersedia membedah novel yang kamu baca ini, besok di sekretariat? Pukul 07.00 sampai pukul 08.00 WITa?” Sebuah tawaran yang tak diduga oleh siswa tersebut. Itulah awal mula Komunitas Cinta Baca dan pembuatan Majalah Athirah saat ini yang diprakarsai oleh Andi Fatimah tersebut.  

Sedang pada “Bab Menyentuh Orangtua Siswa dan Lingkungan”, salah satunya adalah kegiatan Parents Day, yakni kegiatan sehari bersama orangtua siswa. Saat awal program ini digulirkan, resistensi datang dari para pimpinan dan guru-guru di unit masing-masing. Program ini dianggap mengada-ada, mengganggu hari efektf belajar, dan membuka dapur sekolah kepada orangtua siswa. Padahal, tujuan Edi adalah guru maupun orangtua siswa harus mencintai Athirah.

Parents Day juga sebenarnya dijadikan sebagai ajang para orangtua siswa mengenal lebih dekat kepada para guru yang setiap hari mendidik putra-putrinya. Pun menjadi ajang saling kenal lebih dekat sesama para orangtua siswa. Edi menamakannya perjumpaan cinta. Inilah hakikat cinta orangtua kepada anaknya. Pada akhirnya kegiatan ini adalah kegiatan keterpautan jiwa-jiwa yang bertabur cinta (hlm. 305).

Cinta memang sebuah perjuangan. Cinta tidak pernah datang dengan cara murah. Semuanya harus diperjuangkan. Dan seringkali cinta baru mekar setelah melewati berbagai macam derita. Tapi, derita bukan musuhnya cinta. Derita itu membuat cinta sedang tumbuh lebih dewasa. Itulah yang ditempuh seorang pemimpin cinta yang Edi Sutarto praktikkan dan alami. Membaca buku ini adalah membaca potret pendidikan Indonesia yang optimis. Kata-kata yang dibangun menjadi sebuah cerita telah menerbitkan harapan masa depan Indonesia yang cemerlang.[]

Tidak ada komentar: