Judul: Pemimpin
Cinta
Penulis: Edi
Sutarto
Penerbit: Kaifa
Cetakan: I, Februari
2015
Tebal: 377
halaman
Lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain pula ikannya. Lain orang lain pula cara berpikirnya. Perumpamaan itu cocok pula dalam
manajamen lembaga pendidikan (baca: sekolah). Lain direktur lain pula gaya
manajerialnya. Sekolah bisa kita ibaratkan batu pualam. Memberikan setumpuk
batu pualam kepada orang yang biasa-biasa saja, akan berakhir dengan setumpuk
marmer saja. Namun letakkan batu itu di tangan seorang pemahat dan lihatlah apa
yang terjadi! Pemahat itu melihatnya dengan mata seorang seniman.
Salah seorang “seniman”
pendidikan adalah Edi Sutarto. Dia adalah direktur jaringan Sekolah Islam
Athirah di empat wilayah yang berbeda di Sulawesi Selatan. Dari TK hingga SMA. Sebelum
kehadirannya, manajemen semua sekolah tersebut amburadul. Latar belakangnya
sebagai pendidik dan pernah aktif di dunia kesenian (teater Koma, Jakarta)
mampu mengubah manajamen sekolah ke arah yang lebih baik, dari bulan ke bulan
dan tahun ke tahun, kurvanya terus melesat. Buku ini adalah puncak kecerdasan
berbahasanya, dimana isinya adalah jejak rekam atas selama yang dikerjakannya
dalam mengelola jaringan sekolah tersebut.
Layaknya
seniman-pemahat batu pualam, ia mengubah batu yang tidak bernyawa itu menjadi
sebuah karya agung dengan kerja keras dan disiplin tinggi. Hal pertama yang ia
lakukan adalah menginisiasi para guru, pimpinan, dan pengelola manajamen
pendidikan. Ia ubah cara pandang (mindset) mereka yang keliru, dan ia
dukung dengan sepenuh hati cara pandang yang benar.
Visi-misi dan master
plan lembaga pendidikan yang ia buat bermula dari sebuah keterlambatan naik
pesawat. Ceritanya, ketika pulang wawancara di Makassar dan hendak pulang ke
Jakarta, dia ketinggalan pesawat, akibat salah melihat jam. Dia lupa memutar
jarum jam tangannya, karena Makassar lebih cepat satu jam dari Jakarta. Dia lalu
menginap di hotel. Di kamar hotel dia membuat draf konsep master plan Athirah.
Tidak hanya membuat draf rumusan master plan, tetapi juga
visi-misi-motto manajemen dan bentuk organisasinya. Di samping itu, dia juga
telah membuat draf dokumen target serta strateginya. Hal itu kemudian menjadi
SOP (Standard Operating Procedure) Sekolah Islam Athirah.
Pendekatan Cinta
Pada waktu kecil,
Edi pernah mendengar pesan bapaknya, “Jadilah pemimpn cinta agar tumbuh energi
positif. Dari energi positif inilah akan terpantul energi positif yang berlipat
ganda untuk kamu” (hlm. 29). Kata-kata itulah yang selalu Edi ingat ketika
menjalankan roda organisasi Sekolah Islam Athirah. “Saya berjuang menumbuhkan
benih cinta dari lubuk hati yang dalam terhadap Athirah. Hamparan tantangan
bagai gelombang ombak yang ada di depan saya telah menjelma menjadi motivasi
cinta yang harus saya kuatkan menjadi seumpama karang,” ujarnya (hlm. 29).
Cinta menjadi
dasar atas apa yang Edi lakukan dalam melakukan perubahan. Selain pesan
ayahandanya, kata-kata Jalaluddin Rumi juga menjadi semboyannya di Athirah,
yaitu “Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam
apa pun kecuali cinta.” Buku ini basah kuyup dengan kisah-kisah Edi Sutarto
yang terkait dengan guru, siswa, dan orangtua. Semua kisahnya berbasis cinta.
“Bab Menyentuh
Guru dan Karyawan”, salah satu kisahnya adalah memberi contoh kepada para guru
dan karyawan untuk datang tepat waktu sesuai yang disepakati. Edi selalu datang
lebih awal dari para guru dan karyawan. Ia mengontrol kebersihan lingkungan
sekolah, taman, kadang juga turut menyiram bunga-bunga yang ada di taman. Ia
menyapa siapa saja yang dijumpainya baik guru, siswa, maupun karyawan lainnya.
Ia sapa dengan 6S, yaitu senyum, salam, sapa, semangat, sabar, dan syukur dalam
bentuk doa buat mereka yang ia jumpai. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para
guru.
Pada “Bab Menyentuh
Siswa”, ada salah satu yang Edi lakukan adalah memberi surprise buat para
peserta didik. Suatu hari dia melihat beberapa siswa sedang membaca buku dengan
khusyuk sekali. Salah satunya bernama Andi Fatimah. Edi mendekatinya dan
bertanya tentang buku yang dibacanya. Setelah itu Edi menawarkan, “Kamu
bersedia membedah novel yang kamu baca ini, besok di sekretariat? Pukul 07.00
sampai pukul 08.00 WITa?” Sebuah tawaran yang tak diduga oleh siswa tersebut.
Itulah awal mula Komunitas Cinta Baca dan pembuatan Majalah Athirah saat ini
yang diprakarsai oleh Andi Fatimah tersebut.
Sedang pada
“Bab Menyentuh Orangtua Siswa dan Lingkungan”, salah satunya adalah kegiatan Parents
Day, yakni kegiatan sehari bersama orangtua siswa. Saat awal program ini
digulirkan, resistensi datang dari para pimpinan dan guru-guru di unit
masing-masing. Program ini dianggap mengada-ada, mengganggu hari efektf
belajar, dan membuka dapur sekolah kepada orangtua siswa. Padahal, tujuan Edi
adalah guru maupun orangtua siswa harus mencintai Athirah.
Parents Day
juga sebenarnya dijadikan sebagai ajang para orangtua siswa mengenal lebih
dekat kepada para guru yang setiap hari mendidik putra-putrinya. Pun menjadi
ajang saling kenal lebih dekat sesama para orangtua siswa. Edi menamakannya
perjumpaan cinta. Inilah hakikat cinta orangtua kepada anaknya. Pada akhirnya
kegiatan ini adalah kegiatan keterpautan jiwa-jiwa yang bertabur cinta (hlm.
305).
Cinta memang
sebuah perjuangan. Cinta tidak pernah datang dengan cara murah. Semuanya harus diperjuangkan.
Dan seringkali cinta baru mekar setelah melewati berbagai macam derita. Tapi, derita
bukan musuhnya cinta. Derita itu membuat cinta sedang tumbuh lebih dewasa. Itulah
yang ditempuh seorang pemimpin cinta yang Edi Sutarto praktikkan dan alami. Membaca
buku ini adalah membaca potret pendidikan Indonesia yang optimis. Kata-kata
yang dibangun menjadi sebuah cerita telah menerbitkan harapan masa depan
Indonesia yang cemerlang.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar