Judul: Biografi
Intelektual-Spiritual Muhammad
Penulis: Tariq Ramadhan
Penerjemah: R. Cecep Lukman
Yasin, M.A.
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Januari 2015
Tebal: 372 hlm.
Buku-buku Sirah Nabi (biografi Nab Muhammad Saw.) sudah banyak.
Modelnya pun macam-macam. Ada yang tematik, analitik, bahkan ensiklopedik. Gaya
penulisannya pun puspa ragam, ada yang gamblang maupun nyastra. Ada yang
bergenre nonfiksi dan fiksi. Dan penulisnya pun dari berbagai kalangan: muda,
tua, bahkan non-muslim. Hal itu
membuktikan bahwa tidak ada seorang nabi bahkan tokoh yang banyak diapresiasi
selain Muhammad Saw.
Buku ini termasuk salah satu buku biografi Nabi. Ditulis oleh Tariq Ramadan,
cucu Hasa al-Banna, yang dinobatkan oleh majalah TIME sebagai salah satu
“inovator dunia di bidang spiritualis”. Ia sebenarnya mengakui bahwa buku jenis
ini sudah banyak, lantas mengapa ia tetap nekad menulisnya? Tujuannya adalah “menjadikan
kehidupan Rasul sebagai cermin bagi kita yang dengannya para pembaca yang
sedang menghadapi tantangan zaman mampu menyelami hati dan pikiran mereka
sendiri dan memahami berbagai persoalan hidup dan masalah sosial dan moral yang
lebih luas” (hlm. 19). Keren sekali.
Buku yang baik memang seharusnya seperti ini, yakni menjawab persoalan pada
zamannya. Meskipun sejarah adalah masa lalu, tapi nilai-nilainya bisa
diterapkan pada masa kini. Tak terkecuali sejarah pada masa Nabi Saw. Lantas apa keistimewaan buku ini dan menjadi
pembeda dengan buku sejenisnya?
Bagi yang suka baca Sirah Nabi mungkin akan mengatakan tidak ada
yang baru dengan buku ini. Saya pun sepakat. Karena memang rujukan buku ini pun
dari buku-buku klasik sirah nabawaiyah. Namun seperti yang dikatakan
sebuah ungkapan bahwa “Tidak ada yang baru di bawah terik matahari ini kecuali
sudut pandang dan orang-orang yang kita jumpai di jalanan.” Tariq membidik dari
sudut pandang yang berbeda.
Ya, sudut pandang buku ini terbilang unik dan menjadi book appeal yang
tinggi di mata pembaca. Ia membidik sejarah Nabi dari kualitas kemanusiaannya
sebagai seorang manusia dan keteladannya sebagai seorang Nabi. Buku ini dibuka
dengan sebuah paragraf indah yang membuat kita penasaran ingin membacanya lebih
lanjut.
Tariq mendedahkan sikap dan teladan Nabi pada tiga hal: hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan hewan, dan manusia dengan alam. Hal yang
menyangkut hubungan antar-manusia, misalnya, sabda Nabi kepada salah seorang
sahabatnya, “Dalam dirimu ada dua sifat yang disenangi Tuhan: kelembutan (al-hilm)
dan ketabahan (al-anah, “kemuliaan,” “toleran”).” Beliau mengajak
semua sahabatnya untuk tetap bersikap lembut dan pemaaf, “Jika engkau mendengar
sesuatu yang tidak kausenangi tentang saudaramu, carilah hingga tujuh puluh
alasan untuk memakluminya. Jika engkau tidak bisa menemukan satu pun alasan
untuknya, yakinkan dirimu bahwa alasannya tidak kauketahui” (hlm. 199-200).
Sedang yang berhubungan antara manusia dengan hewan, yakni misalnya sabda
Nabi yang menyangkut soal ritual penyembelihan hewan ternak (dan qurban), bahwa
pisaunya harus tajam, agar tidak menyakiti hewannya, dan menyembunyikan
pisaunya sebelum digunakan. Menurut Tariq penghargaan terhadap hewan juga
merupakan ajaran Islam yang paling penting. Nabi mengajarkan hak hidup hewan
untuk dihargai, dihindarkan dari penderitaan, diberi makanan yang ia perlukan,
dan diperlakukan dengan baik. Hal ini bahkan menjadi sebuah kewajiban dan
syarat peningkatan spiritual seseorang. Tariq pun menyitir salah satu hadis
perihal penghormatan terhadap hewan. “Siapa pun yang membunuh burung pipit atau
hewan yang lebih besar lagi tanpa menghargai hak hidupnya akan dimintai
pertanggungjawaban di hadap Tuhan pada Hari Pembalasan.”
Adapun yang berhubungan antara manusia dengan alam terlihat pada saat Nabi melawati
Sa’d ibn Abi Waqqas yang sedang berwudhu. Beliau berkata kepadanya: “Kenapa
mubazir begitu, wahai Sa’d?” “Apakah ada mubazir dalam berwudhu sekalipun?” Tanya
Sa’d. Nabi menjawab, “Ya, sekalipun ketika menggunakan air sungai yang
mengalir.” Air adalah unsur penting dalam seluruh ajaran dan praktik ritual
Islam, karena ia melambangkan kesucian badan dan hati, kebersihan tampilan
fisik dan kandungan spiritual. Menghormati alam dan menggunakannya secara bijak
justru, dalam dirinya sendiri, merupakan pelatihan dan penanjakan spiritual,
tujuan pencarian mereka akan Sang Pencipta” (hlm. 343).
Hubungan manusia dengan alam bukan lagi persoalan ekologi untuk
mengantisipasi bencana tapi lebih dari itu, yakni sebuah etika terhadap alam
sebagai implementasi ajaran spiritual terdalam. Hubungan antara orang beriman
dan alam harus didasarkan pada perenungan dan penghormatan. Tariq memperkuat
argumennya dengan sabda lain dari Sang Nabi, “Jika detik-detik Hari Pembalasan
telah mendekat dan seseorang di antara kalian menggenggam benih di tangannya, bersegeralah
menanam benih itu.”
Buku biografi intelektual-spiritual Nabi Muhammad Saw. ini ibarat oase yang
menanti pembaca untuk meminumnya hingga dahaga intelektual dan spiritual mereka
terobati oleh ajaran dan teladan beliau.[]
M. Iqbal Dawami
Ketua Tadarus Buku Pati
1 komentar:
Buku yang indah, Mas. Saya beli di Togamas Gejayan awal tahun 2015.
Posting Komentar