Senin, Januari 26, 2009

Sepatu Spesial untuk Bush

Resensi ini dimuat di Media Indonesia pada Sabtu 24 Januari 2009
-------------------------
Judul : Goodbye, Bush! - Sepatu Perpisahan dari Baghdad
Penulis : Muhsin Labib
Penerbit : Rajut Publishing House
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 96 hlm
------------------------------
Masih ingatkah anda dengan peristiwa lemparan sepatu milik wartawan al-Zaidi kepada Presiden Bush, di Irak? Peristiwa ‘sepatu buat Bush’ itu telah mengantarkan Muntahar al Zaidi menjadi terkenal di dunia.

Peristiwa yang ikut menandai lengsernya Presiden George Walker Bush Junior itu, akan selalu dikenang dunia. Dan, nama al Zaidi kini menjadi hero di Irak, bahkan di negara-negara arab lainnya. Al Zaidi muncul sebagai tokoh pembangkang yang berani melawan Bush-Amerika. Saking tingginya daya tarik peristiwa itu, kini tahukah anda sepatu tersebut dilelang dengan harga yang sangat mencengangkan, yaitu Rp 110 miliar.

Bagaimana kronologi peristiwa pelemparan sepatu tersebut? Siapa sesungguhnya Muntahar al-Zaidi? Terus, bagaimana reaksi setelah peristiwa itu? Dalam buku inilah ketiga pertanyaan di atas dapat ditemukan jawabannya.


Minggu, 14 Desember 2008, presiden AS George W. Bush tiba di bandara Internasional Baghdad dengan pesawat kepresidenan AS, Air Force One. Tujuan utama Bush adalah, selain hendak pamitan, untuk menandatangani pakta keamanan AS-Irak. Usai menandatangani, Bush dan Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki hendak melakukan konferensi pers. Seluruh petugas di situ juga telah menyiapkan semua prosedur pengamanan super maksimum yang lengkap dengan peralatan canggihnya. Maka, hampir dipastikan dalam ruangan tersebut tak ada bom, pistol, atau barang apapun yang mengancam keamanan Sang presiden dan perdana menteri.

Saat al-Maliki dan Bush berdiri di podium dengan tatapannya yang penuh kepercayaan diri hendak bersiap menjawab pertanyaan para wartawan, tiba-tiba seorang wartawan televisi Al-Baghdadia, Muntahar al-Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Bush sambil berteriak , “Good bye, dog!” Belum sempat para pengawal presiden bereaksi, al-Zaidi melempar sebuah sepatunya lagi, beruntunglah Bush dapat menghindarinya sehingga kedua sepatu itu tak mengenai kepalanya.

Peristiwa tersebut diliput secara live oleh hampir seluruh stasiun televisi dunia. Dan dapat dipastikan berita itu telah tersebar dengan cepat, dan menghibur banyak pemirsa, serta segera saja menjadi bahan gurauan dan melahirkan berbagai reaksi dari seluruh masyarakat dunia. Tentunya peristiwa ini bisa menjadi insiden yang paling memalukan sepanjang sejarah kepresidenan AS.

Dalam budaya arab, tapak kaki (serta yang membungkusnya: Sandal dan sepatu) adalah sebuah penghinaan. Kita tahu, setelah patung Sadam Husein dirobohkan di Baghdad banyak orang memukuli wajah patung itu dengan tapak sepatu mereka. Nah, Bush pun mengalami nasib yang sama dengan Sadam.

Pelemparan sepatu Zaidi merupakan perlawanan simbolik untuk merontokkan kewibawaan Bush. Pesan yang disampaikan tindakan itu adalah hegemoni politik Amerika tidak bisa serta merta beroperasi secara total bagi seluruh rakyat Irak. Negara bisa ditawan dan dikuasai, namun tidak untuk seluruh rakyatnya. Al Zaidi merupakan martir simbolik. Wajar jika kemudian rakyat Irak memberikan dukungan atas tindakan al Zaidi tersebut.
Saat ini kita dapat membaca peristiwa tersebut secara utuh melalui sebuah buku. Buku karangan Mushin Labib ini disertai pula pelbagai informasi yang mengitari peristiwa ‘pelemparan sepatu tersebut’. Buku ini disebut dengan ‘flash book’, dengan dibuat secara cepat untuk menangkap sebuah momen yang masih aktual, yang mampu diselesaikan dalam waktu 2x24 jam. Sungguh luar biasa.

Di awal buku ini diperlihatkan peristiwa seputar Pakta Keamanan Amerika-Irak beserta polemik-polemiknya. Bagian ini memuat berbagai pasal pakta pertahanan tersebut beserta pasal-pasal rahasia dari kesepakatan tersebut. Dari pasal-pasal tersebut terlihat dengan jelas bagaimana AS masih enggan sepenuhnya melepas cengkeraman militernya atas Irak.

Tampaknya ini buku pertama di Indonesia yang memaparkan insiden pelemparan sepatu pada Bush. Selain itu ada banyak informasi yang mungkin hanya bisa diperoleh dalam buku ini saja. Selain kita bisa memperoleh seluruh rangkaian peristiwa ini secara utuh, melalui buku ini pula kita juga akan melihat sebuah ekspresi penolakan yang kuat terhadap arogansi dan hegemoni suatu pemerintahan yang secara sadar ingin menguasai bangsa lain dengan dalih perdamaian dan keamanan dunia.

Di Bagian ketiga dalam buku ini memuat profil singkat pelempar sepatu, Muntahar al Zaidi dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sosoknya sesuai aksi pelemparan seperti penyiksaan yang dialaminya dan dukungan serta simpati mulai dari sesama wartawan. Terkait dengan dirinya, beberapa fenomena menarik juga direkam dalam buku ini, seperti banyak ibu-ibu yang bersedia menikahi anak gadisnya dengan al Zaidi, pabrik pembuat sepatu yang mereknya sama dengan yang digunakan al Zaidi kebanjiran order, sehingga pesanan jenis sepatu tersebut dinaikkan hingga 4 kali lipat. Dan uniknya kebanyakan pesanan tersebut berasal dari AS, Inggris, dan sejumlah negara Arab.

Al Zaidi memang telah menjadi hero dan simbol perlawanan terhadap Amerika dan sekutu-sekutunya. Bahkan setelah peristiwa tersebut para intifadah di jalur Gaza tak lagi melempari tentara Israel dengan batu melainkan dengan sepatu.

Selain itu terungkap pula bahwa sejatinya kejadian aib bagi sang presiden tersebut malah menjadi hiburan gratis bagi tentara AS di Irak. Peristiwa tersebut nyaris tidak terkesan sebagai peristiwa kekerasan, namun kelucuan. Tentara AS di Irak terbahak-bahak melihat insiden tersebut.

Kasus ‘sepatu al Zaidi’ itu memang tidak otomatis merontokkan kewibawaan Amerika baik secara ekonomi, politik, militer dan budaya. Sebagaimana yang dikatakan Indra Tranggono, budayawan Jogja, bahwa mereka terlalu digdaya. Namun, lanjutnya, secara politik dan kultural peristiwa itu telah menjadi interupsi penting bagi Amerika bahwa sebuah bangsa dan negara mempunyai harga diri yang tidak bisa diperlakukan secara semena-mena. Semoga kasus ini menjadi bahan renungan bagi Barrack Obama.

Selasa, Januari 20, 2009

Lepas Dari Jebakan Wajah

Judul: The Face of Another – Wajah Lelaki Lain
Penulis: Kobo Abe
Penerjemah: Wawan Eko Yulianto
Penerbit: Jalasutra
Tahun: I, 2008
Tebal: 350 hlm
----------------

Sebegitu pentingkah wajah bagi seseorang? Secara umum memang ya. Karena boleh dibilang wajah adalah gerbang untuk menjalin akses dengan dunia. Wajah merupakan pantulan jiwa dan seluruh raga, juga cermin bagi setiap orang yang memantulkan segenap cipta, rasa dan karsanya.

Paradigma seperti inilah yang selama ini telah diterima masyarakat luas secara konvensional. Akan tetapi Kobo Abe dalam novelnya menulis lain falsafah tentang wajah. Abe menghadirkan tokoh “Aku” dalam keadaannya yang tanpa wajah. Benarkah wajah menjadi prasyarat penting bagi kelayakan manusia?

“Aku” seperti dikisahkan Abe dikenal sebagai kepala Institut Riset Molekuler Tinggi di Jepang, mengalami ledakan ketika sedang melakukan percobaan kimia di laboratoriumnya. Wajahnya hancur, melepuh dan berubah menjadi jaringan daging yang menjijikkan. Sehingga menyebabkannya menjadi monster mengerikan yang berjalan kemana-mana dengan wajah dibalut berlapis-lapis perban. Hubungan dengan orang lain rusak, dan istrinya menolak ketika diajak bercinta. Ia dicampakkan lingkungannya karena kekurangan hal sepele, menjadi lelaki yang tak berwajah.

Si “Aku” memerlukan sesuatu untuk menyingkirkan halangan bekas luka keloid yang membengkak dan mengembalikan lagi jalan penghubung menuju orang lain. Ia terusik oleh alergi psikologis dan gagal menghentikan penderitaan meski sudah muak terhadap segalanya—walau telah berkali-kali mencoba meyakinkan dengan tindakan bahwa wajah hanyalah layar, sebuah ilusi sia-sia—Pada akhirnya ia melanjutkan hidup di buku dan pulau terpencil dengan menyewa kamar di sebuah apartemen. Di tempat persembunyiannya itu ia mencetuskan ide membuat topeng yang nyaris tak dapat dibedakan dengan wajah asli, lengkap dengan ekspresi yang diinginkannya. Ia menghubungkan topeng karyanya dengan otot yang mengatur ekspresi, sesuatu yang bisa melebar dan menegang bebas, tertawa dan menangis.

Tak pelak, penulis begitu lihai menampilkan karakter tokohnya dengan alegori eksistensial yang sangat utuh dan terwujud begitu hidup. Dengan kesuksesannya menciptakan topeng, si “Aku” tampil dalam pementasan topengnya, namun dialah satu-satunya pemain. Dia menguji kecanggihan topengnya dan terlahir sebagai sosok dirinya yang lain, sosok si topeng yang melancarkan aksi melakukan balas dendam kepada istri yang telah menolaknya. Si topeng berani menjamin istrinya bakal terpedaya dengan kesempurnaan wajah barunya. Namun di balik semuanya “Aku” justru telah mengamati penyerongan yang telah dilakukan istrinya.

Sangat mungkin bagi “Aku” mengubah standar nilai dan minat orang pada wajah asli beralih menjadi topeng yang bisa diubah-ubah. Di zaman topeng, kita bisa memakai tampang baru yang lepas dengan masa lalu atau hari esok. Topeng akan memperoleh kemasyhuran luar biasa dan pabrik yang memproduksinya pun akan tumbuh semakin besar.
Kita bisa memesan jenis dan rupa wajah dari yang terpopuler sampai terjelek sekalipun, dari tampang kota maupun tampang desa. Dan jauh lebih wajar saja jika aktor populer akan ngotot mendapatkan hak cipta wajah dan mulai menggelar gerakan menentang produksi bebas topeng mereka.

Si “Aku” menemukan kepercayaan dirinya dan berfikir jika ada yang harus menanggung malu dan menderita, bukannya lebih kepada dunia yang telah menguburnya hidup-hidup, yang tak mengenali kepribadian lelaki tanpa paspor bernama wajah. “Aku” nyaris sulit percaya bahwa wajah itu begitu penting bagi keberadaan manusia. Bukankah kelayakan manusia harusnya diukur berdasarkan isi karyanya. “Aku” berterima kasih seutuhnya bahwa ia telah meraih kesempatan mengangkat sauh sementara pantai masih terlihat.

Dan fakta yang tak bisa lagi dipungkiri bahwa wajah manusia—jenis berubah-ubah harmoni—adalah juga topeng. Di sini seakan ditemukan sebuah metafora tentang wajah yang tak lebih hanyalah sebagian kecil dari kapsul manusia. Wajah tidak lebih hebat dengan bebatan perban atau topeng ciptaan manusia. Karena hanya kulit luar yang terang-terangan menyembunyikan isinya dan kerap dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan untuk mendapatkan kesan karismatik. Membaca novel ini seakan membuat kita tahu makna seraut wajah, dan kemunafikan yang disembunyikan di balik senyum yang menawan.

Kini beribu-ribu wajah calon legislatif (caleg) sedang dipampangkan lewat aneka poster dan spanduk, dijajakan di setiap sudut-sudut dan pinggiran kota serta di desa-desa. Akankah ia benar-benar mencerminkan jati diri dan pesona karakter yang ditampilkannya? Ataukah orang malah melihatnya sebagai topeng-topeng menggelikan dan hanya memedihkan mata setiap yang memandang? Oleh karena itu, novel ini mendapatkan tempat di masyarakat kita pada saat ini yang sedang ramai berlomba memajang wajah-wajah para caleg dari masing-masing partai. Membaca buku ini membuat kita akan berkata kepada poster-poster caleg itu, ‘jika anda ingin dipilih rakyat tolong buka dulu wajah (topeng)mu itu!’.

Jenghis Khan Leluhur Dua Benua

Judul: Jenghis Khan, Legenda Sang Penakluk dari Mongolia
Penulis: John Man
Penerjemah: Kunti Saptoworini
Penyunting: Indi Aunullah
Penerbit: Alvabet, 2008
-----------------------

Buku ini merupakan kajian komprehensif yang mampu memadukan pendekatan sosiologis, antropologis, bahkan historis mengenai seorang sosok legendaris dunia, yang oleh sebagian orang dicaci tapi oleh sebagian lainnya justru dipuji. Sosok tersebut adalah Jenghis Khan.

Ada dua fakta yang tak dapat dibantah bahwa Jenghis Khan merupakan orang yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang, termasuk kaum Muslim, kurun 1209 - 1227. Pun di Negara-negara taklukan lainnya. Namun, dia juga adalah orang pertama yang menghubungkan perdagangan antara dataran Cina dan bangsa-bangsa di kawasan Eurasia melalui jalur sutra. Dia adalah pria yang menjamin keamanan dan perdamaian di sepanjang jalur tersebut.

Buku karya John Man ini dibuka dengan laporan sebuah artikel pada Maret 2003, di American Journal of Human Genetics. Artikel tersebut menceritakan bahwa dari sebanyak 2.000 pria di seluruh Eurasia yang diuji DNA-nya, ditemukan beberapa lusin pria di antaranya mempunyai struktur genetik yang mirip.

Struktur yang juga dimiliki tidak kurang dari 16 kelompok populasi yang menyebar antara Laut Kaspia dan Samudera Pasifik. Fakta tersebut membuktikan terdapat keluarga yang sangat besar yang berasal dari satu gen. Penelitian pun terus dilanjutkan dan berhenti pada satu kesimpulan bahwa gen tersebut berasal dari seorang pria bernama Jenghis Khan, seseorang yang pernah berkuasa di daerah tersebut sekitar abad ke-12 yang dalam setiap penaklukannya, wanita cantik merupakan bagian dari harta rampasan dalam peperangan dan merupakan persembahan dari perwira bawahan sebagai sebuah pernyataan kepemimpinannya.

Dari rasa penasaran itulah buku ini beranjak menuju penelitian lapangan, hendak menyusuri tanah kelahiran Jenghis Khan di Mongol sembari membuka pelbagai referensi prihal Jenghis Khan. Alkisah, petualangan Jenghis Khan dalam melakukan ekspansinya adalah dimulai dari daratan Cina pada 1211. Dan untuk mengepung Kota Terlarang itu dia menggunakan kuda dan busur kecil yang dapat melontarkan anak panah berkilo-kilo meter. Adapun cara melakukan koordinasi antarpasukan, dia menggunakan kurir yang mampu mengantarkan pesan berjarak ratusan kilometer dalam sehari. Selain itu, dia juga mengadaptasi alat pelontar batu, busur raksasa, serta tangga besar yang digunakannya dalam setiap pengepungan kota.

Keberhasilannya dalam menaklukan dataran Cina mengantarkan dia sebagai salah satu bapak pendiri dinasti di Cina. Tak lain itu merupakan efek dari penyerangan tersebut yang efektif dan elegan.

Pada 1218, Jenghis mulai bergerak ke wilayah barat. Ada hal baru dari analisa John Man yang sedikit melawan pendapat main stream, bahwa pembantaian jutaan kaum muslim di Khwarazem (sekarang Baghdad), oleh Jenghis Khan adalah karena sikap pimpinan kota Khwarazem lah yang terlalu paranoid dengan kedatangan Jenghis Khan sampai membunuh utusan Jenghis. Kronologinya adalah saat utusan pimpinan bangsa Mongol mendekati pimpinan Khwarazem yang sebetulnya berniat menawarkan kerja sama dalam bidang perdagangan dengan membuka jalur sutra, malah dibunuh oleh pimpinan Khwarazem.

Jenghis yang sangat mengagungkan kesetiaan akhirnya membalas dendam atas penghinaan itu dengan membantai hampir 1,3 juta Muslim. Jadi, sama sekali tidak benar jika ada anggapan bahwa pembantaian tersebut berdasarkan agama atau rasisme.

Jenghis Khan bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah gelar kebesaran bangsa Mongol yang berarti sang pemimpin. Istilah ‘Jenghis Khan’ sendiri diawali dari seorang anak jalanan bernama Temujin. Dia seorang pesakitan yang terus hidup dengan dendam dari orang-orang yang pernah menyiksa dan menganiayanya.

Singkat cerita, seiring waktu dan pencapaiannya selama 10 tahun menyatukan bangsa Mongol yang terpisah-pisah karena kesukuan, Temujin diangkat menjadi Jenghis Khan (sang pemimpin). Perang saudara memang sudah biasa terjadi di antara suku-suku di Mongol. Oleh karena itu, dia ingin membuat hukum dan menyatukan bangsa Mongol di bawah kendalinya. Hukum itulah yang kemudian membawanya ke tampuk kepemimpinan. Nampaknya segala beban dan pengalaman hidup pahit masa kecil itulah yang menyumbang banyak dalam pembentukan karakternya kelak.

Dalam kepemimpinannya, Jenghis Khan merupakan pemimpin yang sangat loyal atas bawahannya. Sebelum menuntut kesetiaan pada bawahannya, ia sendiri memberi teladan terlebih dahulu untuk setia pada mereka. Maka, terjadilah hubungan yang kokoh antara Jenghis Khan dan bawahannya. Semua bawahannya hampir dipastikan tidak ada yang berontak atas kepemimpinannya. Semua jenderalnya merasa puas atas kepemimpinannya. Hal itu juga ia lakukan atas suku-suku yang bergabung dengan dirinya dengan sebuah kesetiaan yang tinggi.

Di saat sakit dan mendekati ajalnya, Jenghis berwasiat kepada para jenderalnya untuk merahasiakan kematiannya kelak agar rencana-rencana penaklukannya bisa terus berjalan melalui penggantinya. Dan sepeninggalnya, Jenghis Khan telah membangun sebuah kerajaan yang mampu menguasai kawasan dari Laut Kaspia hingga Samudera Pasifik. Dia adalah orang yang menaklukkan daratan Cina hingga sebagian Eurasia.
Sesuai penelitiannya, John Man berani mengatakan bahwa daerah kekuasaan Jenghis empat kali lebih besar dari Alexander Agung, dan dua kali lebih besar dari imperium Roma.

Jenghis Khan juga tercatat sebagai pemimpin jenius yang melakukan pembaharuan sistem pemerintahan sangat maju untuk zamannya. Ia mengenalkan penggunaan bubuk mesiu, uang kertas, serta kitab hukum yang mengatur tentang pemerintahan, dan undang-undang, Yassa Agung.

Namun, terlepas dari segala prestasi yang diukirnya (termasuk pemberani dalam medan perang), terdapat fakta bahwa Jenghis Khan ternyata sangat takut pada anjing.

Jumat, Januari 02, 2009

Harry Potter Menjadi CEO

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta,Kamis 8 Januari 2009

----------------------
Judul: Harry Potter is Back, And Now he’s the CEO of the General Electric
Penulis: Tom Morris
Penerbit: Quacana,
Cetakan: I, November 2008
Halaman: 406 halaman
--------------------


Harry Potter selebritas dalam dunia sihir, masih terus booming dalam kiprahnya membangun hikmah dan kearifan hidup para pembacanya. Tom Morris satu dari sekian banyak pembaca karya-karya Rowling yang berhasil mengeksplorasi pesona sihir Harry Potter menjadi sebuah karya nyata yang menginspirasi semua kalangan pembacanya.

Di tangan Morris kisah Harry Potter belum berhenti. Petualangan-petualangannya di sekolah Hogwarts--setelah ia berhasil menundukkan Voldemort--telah mengantarkannya menjadi CEO General Electric, sebuah perusahaan besar kelas dunia. Penulis buku ini begitu yakin Harry Potter telah dipersiapkan menjadi “pemain bintang” dalam dunia bisnis, juga menjadi pemimpin muda yang sangat mengesankan.

Apa kira-kira yang akan dilakukan Harry sebagai pemimpin perusahaan? Apa kiat-kiat bisnis, manajemen, dan kepemimpinan yang bisa diambil dari Harry Potter? Di buku inilah jawabannya akan ditemukan.

Apa yang dituturkan dalam kisah-kisah Harry Potter menurut Morris adalah kebaikan-kebaikan yang selalu menyebar tepat di pusat kehidupan beretika. Dan dari pengamatannya, ia tercengang, lantaran menemukan banyak pelajaran berharga dan ajaran-ajaran filosofis dalam karya-karya Rowling yang menjadi modal dasar kepemimpinan. Bagaimana Dumbledore telah mengilhami Harry rasa percaya diri, karakter, semangat dan keteguhan dalam kemandiriannya, sehingga ia dapat mengatur dan memimpin perlawanan tanpa henti terhadap kekuatan jahat yang muncul sepanjang cerita.

Di balik jubah sihirnya, justru kisah-kisah Harry Potter ingin menunjukkan bahwa bukan sihir yang memberi kesuksesan dalam meraih impian, karena kita tahu kebanyakan dari kita tidak memiliki perangkat-perangkat sihir itu. Akan tetapi kearifan-kearifan yang terpancar di dalamnya sangat tepat untuk diaplikasikan pada tantangan-tantangan bisnis sekarang ini. Kita bisa melihat banyak petunjuk mengenai kebaikan-kebaikan, keberanian, etika, dan sifat-sifat kepemimpinan yang penuh integritas, yang banyak tersebar dalam kisah-kisah Harry Potter.

Sifat yang penting dalam dunia bisnis, sebagaimana ditulis Morris, adalah keberanian. Keberanian untuk mengambil resiko, juga seperangkat keberanian lainnya; mengatakan kebenaran dan bertingkah laku sesuai prinsip tanpa terpengaruh oleh orang lain. Harry sering terlihat bersedia menghadapi bahaya besar untuk menyelamatkan temannya. Harry mengerti apa yang sedang dihadapi dan bersedia melawannya karena sesuatu yang dia junjung tinggi. Inilah yang harus dijadikan tauladan seorang pelaku bisnis, CEO, dan pemimpin-pemimpin yang berada pada garda depan. Dalam hal ini tentunya termasuk berani untuk dapat menampilkan kenyataan yang benar, bukan hanya berlindung di balik penciptaan kesan yang benar.

Menjadi pribadi yang hebat, merupakan komitmen yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Hebat yang mengacu kepada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Membangun kepercayaan melalui kasih sayang, kemanusiaan, dan cinta. Jeft Immelt, CEO perusahaan besar kelas dunia menawarkan lima buah saran yang ia sebut sebagai “lima buah nilai yang dijunjung tinggi”, yaitu: Berkomitmen kepada apa yang harus dipelajari; bekerja keras dengan rasa kasih sayang dan keberanian; jadilah si pemberi; anda harus memiliki kepercayaan diri; terakhir, jadilah orang yang optimistik.

Buku ini sangat berguna untuk semua orang yang ingin menemukan sedikit keajaiban dalam bisnis dan kehidupan. Jika Harry Potter dewasa yang matang memimpin General Electric, atau organisasi lain dalam dunia bisnis, pemerintahan, atau pelayanan masyarakat, sang penulis yakin kita akan melihat sebentuk kepemimpinan yang didasarkan pada sifat-sifat baik, yang tindakannya berani secara etis, dan dimotivasi serta diarahkan oleh cinta.

Minggu, November 30, 2008

Bahagia Dengan Otak Kanan


Judul : The 7 Laws of Happiness
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Kaifa
Cetakan : I, Sept 2008
Tebal : 428 hlm
-----------------------

Taufiq Pasiak (2006) mengatakan sedikitnya ada dua ilmu (sains) yang mengalami perkembangan pesat akhir-akhir ini jika dikaitkan dengan pengungkapan hakikat diri manusia.

Dua ilmu itu adalah fisika kuantum yang berkaitan dengan eksplorasi alam semesta dan selanjutnya berimplikasi pada posisi manusia di dalam universum (alam semesta) dan neurosains (ilmu tentang otak), terutama neurosains kognitif yang mempelajari otak manusia hingga tahap molekuler.

Neurosains mengkaji diri manusia sebagai proses yang berlangsung pada tingkat sel saraf. Neurosains bahkan mempelajari hingga proses perhubungan manusia dengan Tuhan. Pelbagai penemuan neurosains sangat berguna tidak saja dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam bidang lainnya, seperti manajemen dan bisnis, psikologi, filsafat, dan pendidikan.

Perkembangan dalam bidang neurosains meliputi salah satunya kajian tentang neurokimiawi, yang dapat mengetahui kegiatan-kegiatan otak, mulai dari kegiatan sederhana seperti bergerak, sensasi, hingga kegiatan tingkat tinggi seperti berbahasa dan berpikir. Apa yang disebut kegiatan-kegiatan “jiwa”, misalkan tampilan-tampilan emosi (marah, sedih, gembira, dan lain-lain), ternyata sangat berkaitan dengan zat kimia otak. Zat mirip morfin, namanya endorfin, yang dihasilkan otak diketahui ternyata berperanan dalam menimbulkan rasa gembira pada seorang manusia, atau adrenalin, dopamine, dan serotonin ternyata memainkan peran dalam menimbulkan rasa senang dan cemas, dan masih banyak lagi.

Sedang yang mengatur emosi manusia berada dalam sistem limbik, yaitu bagian otak mamalia yang dikelompokkan sebagai paleocerebri’ (‘otak tua’). Daerah ini relatif sama pada manusia dan mamalia lain. Ia mengatur aspek sosial maupun privat dari emosi manusia. Bagian sistem limbik bernama amygdale yang mengatur hubungan langsung dengan kulit otak sebagai pusat berpikir. Adanya komponen ini membuat manusia menjadi makhluk yang tidak melulu berpikir, tetapi juga merasa. Dimensi inilah yang membangun hubungan antara manusia.

Nampaknya paradigma keilmuan di atas dijadikan pijakan oleh Arvan Pradiansyah dalam bukunya ini. Arvan sesungguhnya menjabarkan neurosains yang dapat dipakai dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM). SDM seseorang sejatinya akan melejit jika dapat mengelola pikirannya. Dengan kata lain, pikiranlah yang sebenarnya sangat memainkan peran penting terhadap segala sesuatu yang menyangkut diri seseorang, baik menyangkut jasmani maupun rohani.

Kesadaran akan pentingnya pikiran tersebut, menggerakkan Arvan untuk membuat sebuah metode bagaimana menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif dan memfokuskan perhatian pada pikiran positif tersebut. Pemilihan pikiran itu sendiri akan dapat merangsang terciptanya pola-pola baru, kombinasi-kombinasi baru antara sel-sel saraf dan neurotransmitter, yaitu zat kimiawi yang mengirimkan pesan-pesan di antara sel-sel saraf, khususnya dalam hal kebahagiaan.

Arvan sendiri mengakui bahwa The 7 Laws sebenarnya terinspirasi dari 7 Habits karya Stephen Covey. Namun, jika Covey menggambarkan perjalanan manusia yang dimulai dari dependensi menuju independensi dan berhenti di interdependensi sebagai suatu bentuk bentuk kematangan tertinggi manusia, sedang The 7 Laws menggambarkan sebuah perjalanan melingkar, yaitu dimulai dari dependensi ke independensi, ke interdependensi, dan kembali ke dependensi. Inilah yang membedakan dengan konsep 7 Habits karya Stephen Covey tersebut.

Rumusan Kebahagiaan
Setelah Arvan menjabarkan bangunan teorinya mengenai kekuatan pikiran, maka ia kemudian memasuki wilayah ‘bahagia’. Sungguh, tak bisa dipungkiri oleh siapa pun, bahwa inti hidup kita adalah sebenarnya mencari kebahagiaan. Terlepas jalannya seperti apa. Hal ini, secara tak langsung dipahami dengan baik oleh Arvan, bahwa buku mengenai kebahagiaan sangatlah sedikit, ketimbang buku tentang meraih kesukesan. Padahal, kesuksesan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang berbeda. Buktinya, banyak orang sukses tapi ternyata tidak bahagia. Kesuksesan hanyalah bagian kecil dari bahagia yang sifatnya relatif tersebut.

Selain itu, menurutnya, hakikat kebahagiaan yang sejati berasal dari pikiran, bukan dari hati. Hati itu tidak jelas letaknya di mana; di jantung, empedu, ginjal atau organ yang lainnya, dan sifatnya pun bisa bolak-balik. Sedang pikiran pasti menunjukkan pada satu tempat, yaitu otak. Maka kemudian, Arvan meyakini bahwa untuk mencapai kebahagiaan maka yang harus kita lakukan adalah dengan cara memilih pikiran yang positif. Dengan pikiran tersebut, kita akan senantiasa dipenuhi oleh rasa bahagia.

Arvan pun memberikan contoh konkrit, bahwa salah satu cara mengisi pikiran kita dengan hal yang positif yaitu dengan cara menghindari bacaan dan tontonan yang berdampak negatif. Dalam hal ini acara Empat Mata di stasiun televisi swasta kena damprat oleh Arvan, lantaran dianggap sebagai salah satu tontonan yang akan mematikan belas kasih. Untunglah, saat ini acara yang dipandu Tukul tersebut sudah dilarang tayang.

Buku ini secara terperinci memberikan pelatihan pikiran yang sistematis dan metode bagaimana menumbuhkan kebahagiaan dengan cara memilih pikiran positif dan memfokuskan perhatian pada pikiran positif tersebut. Sebaliknya, buku ini juga melatih bagaimana membuang pikiran-pikiran negatif yang masuk ke kepala kita dan menggantinya dengan pikiran-pikiran yang sehat dan bergizi. Arvan kemudian merumuskan hal tersebut dengan menyebutnya The 7 Laws of Happines. Ketujuh rahasianya tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar. Tiga rahasia pertama berkaitan dengan diri kita sendiri, yaitu Patience (Sabar), Gratefulness (Syukur), dan Simplicity (Sederhana). Tiga rahasia berikutnya berkaitan dengan hubungan kita dengan orang lain, yaitu Love (Kasih), Giving (Memberi), dan Forgiving (Memaafkan). Satu rahasia terakhir berkaitan dengan Tuhan, yaitu Surender (Pasrah).

Nah, Arvan memberikan jaminan bahwa ketujuh rumusannya itu akan mendatangkan kebahagaiaan, asalkan: Dipraktikan dan dilatih secara berulang-ulang. Hal itu senada dengan sebuah pernyataan yang dilontarkan Aristoteles bahwa keberhasilan hidup adalah memang sebuah kebiasaan yang diulang-ulang.

Buku ini sangat patut dibaca dan (lebih penting lagi) dipraktikan serta kemudian dilatih secara berulang-ulang dalam hidup kita. Jadi, harus menunggu apalagi jika anda ingin meraih bahagia?

Minggu, November 02, 2008

Ketika “Sang Pengikat Makna” Berhaji

Judul Buku: Terapi Hati Di Tanah Suci
Penulis: Hernowo
Penerbit :Lingkar Pena, September 2008
Tebal: 199 (termasuk indeks)
------------------------------
Tahukah Anda apa yang dipersiapkan bagi seorang penulis untuk berhaji? Ya, pena dan buku (tentang haji). Pena adalah untuk mencatat segala peristiwa yang tengah dialaminya, sedang buku untuk memperkaya wawasan mengenai rangkaian hajinya.

Keduanya itu hendak digunakan untuk mempersepsikan haji oleh dirinya. Itulah yang dilakukan Hernowo, sang “Pengikat Makna”, yang karyanya sudah lebih dari 30 buku.

Adapun hasil dari pengalaman dan persepsinya tentang haji dia bukukan dengan judul Terapi Hati Di Tanah Suci;Ya Allah, Jadikan Aku Cahaya (2008). Buku yang ditulis dengan “hati” ini mampu membuat seorang penulis lainnya menangis.

Hal itu lantaran dirinya iri dan menyesal mengapa dirinya tidak melakukan apa yang dilakukan Hernowo tersebut. Penulis tersebut bernama Asma Nadia. Dia mengatakan sebab keiriannya dalam Kata Pengantar buku ini, “Kenapa saya kurang menyiapkan bekal bacaan,… kedua, karena saya melewatkan beberapa doa yang diamalkan oleh Mas Hernowo di tanah suci dari hasil iqra’-nya yang panjang. Ketiga, perasaan menyesal karena buku ini tidak hadir sebelum saya menunaikan ibadah haji pada tahun 2007 lalu”(hlm.7-8).

Terkait dengan ketiga alasa keirian Asma Nadia di atas, memang buku ini—terdiri dari tiga bagian—mampu membuat pembaca hanyut dalam dunia haji. Bagian pertama Mempersiapkan Bekal Berhaji, bagia kedua, Pesona Masjidil Haram, dan bagian ketiga Berkah Masjid Nabawi. Hernowo sebelum melaksanakan haji jauh hari sudah membekali dirinya dengan memperkaya wawasan mengenai haji. Tepatnya di bulan Ramadhan—beberapa bulan sebelum bulan haji. Paling tidak ada dua alasan mengapa dia melakukan pembekalannya di bulan tersebut. Pertama, bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan mulia. Dengan begitu Hernowo termotivasi untuk membekali dirinya dengan sabaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Dia yakin bahwa jika seseorang berminat untuk mengumpulkan “bekal” berhaji di bulan suci Ramadhan Tuhan pasti akan menyediakan sumber “bekal” itu secara sangat melimpah.

Kedua, turunnya pertama kali Alquran, yang diawali dengan ayat-ayat perintah membaca (Surat Al-‘Alaq ayat 1-5). Sudah bisa ditebak apa “bekal” yang dipersiapkan Hernowo tersebut, yaitu membaca buku-buku yang terkait dengan haji. Bahkan tidak hanya itu, dia juga membaca buku-buku tentang tanah suci, Masjidil Haram, Madinah, biografi Nabi Muhammad SAW, sejarah awal Islam, dan kebudayaan Islam. Nah, hasil dari bacaannya tersebut, dia menulis hal-hal yang penting dan berkesan. Sebagaimana kita tahu dalam buku-buku sebelumnya, aktivitas tersebut dia namakan dengan “mengikat makna”.

Oleh karena itu, dia “mengikat makna” segala hal yang berkenaan dengan haji. Di saat pembacaan dan penulisannya, dia membayangkan bahwa pada saat berhaji kelak, dia akan merasakan tanah tempatnya lahir Nabi SAW, dan kehidupan Nabi baik di Mekkah maupun Madinah. Bayangan tersebut dia alami saat dia berhaji. Maka tak ayal lagi, lahirlah dari tulisannya kalimat-kalimat yang “hidup”, yang mampu membangkitkan emosi pembacanya untuk merasakan juga apa yang dirasakan oleh Hernowo. Iihat saja misalnya saat dia membaca buku Berhaji Mengikuti Jalur Para Nabi karya O.Hashem, dan dia mendapatkan ihwal Raudhah, di mana dalam bab tersebut disampaikan lima sabda Rasulullah SAW: Pertama, “Antara rumah dan mimbarku adalah taman (Raudhah) di taman-taman surga”, Kedua, “antara kuburku dan mimbarku adalah taman-taman di surga,” Ketiga, “antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman di surga,” keempat, “antara mimbarku dan rumah Aisyah adalah taman dari taman-taman di surga,” kelima, “barangsiapa ingin bergembira shalat dalam taman dari taman-taman di surga, maka shalatlah di antara kubur dan mimbarku” (hlm.65-67).

Nah, di halaman 131-132 dia mengakuinya bahwa saat masuk ke Raudhah begitu berkesan. Dia melakukan shalat dua rakaat dan berzikir serta merenung. Hasil renungannya itu adalah bahwa spirit Islam adalah spirit iqra’. Islam memerintahkan umatnya untuk tak henti-hentinya mencari ilmu, ke mana pun dan dari mana pun sumbernya.

Masih di Raudhah, Hernowo membayangkan dirinya berjejer dengan para sahabat sedang mendengar Rasulullah menyampaikan ilmu-ilmunya. Dan itu pun disebabkan oleh para sahabat kepada umat manusia.

“Doa Cahaya”
Saya kira ruh buku ini terletak pada sub-bab yang berjudul “Doa Cahaya”. Sub ini begitu penting, karena dapat mempertemukan dari sub-sub lainnya, bahkan seluruh komponen dalam kehidupan Hernowo, sebagai penulis yang produktif. “Doa Cahaya” merupakan doa yang berisikan permohonan agar dijadikan cahaya secara menyeluruh. Hernowo sangat terkesan dengan doa ini, karenanya dia mengaitkannya dengan keadaan dirinya.

Menjadi cahaya sangat identik dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Maka dengan pengertian seperti itu, doa dia adalah doa logis yang dapat diwujudkan. Yang menjadi pertanyaanya adalah apakah doa yang dia panjatkan pada waktu berhaji pada 2002 benar-benar mewujud nyata pada saat ini?

Buku yang ke-34 ini adalah buah nyata bahwa Tuhan mengabulkan doanya. Waktu yang relatif singkat, dalam jangka enam tahun, Hernowo telah menghasilkan 34 buku. Sebuah prestasi yang patut diacungi jempol. Sebelum berhaji, dia baru satu buku yang dihasilkannya, yaitu Mengikat Makna. Tapi begitu selesai berhaji, goresan penanya tetap tidak berhenti dari waktu ke waktu. Ide-idenya mengalir dengan deras. Lalu muncullah setiap tahunnya buku demi buku. Nah, buku-buku yang diciptakannya itulah cahaya yang dapat menyinari dirinya dan orang lain. Dengan kata lain, cahaya tersebut adalah berbentuk buku. Dengan buku lah dia dapat menyinari alam semesta ini.

Selasa, September 16, 2008

Saatnya Memilih Presiden Muda


Judul: Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!:Soekarno, Semaoen, Moh Natsir
Penulis: Eko Prasetyo
Penerbit: Resist Book Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2008
Tebal: 264 halaman
------------------------
Pemilu 2009 nampaknya akan diramaikan oleh calon presiden muda. Hal itu telah nampak saat ini juga. Beberapa nama seperti Sutrisno Bachir, Fajroel Rahman, Rizal Malarangeng, dan lain-lainnya, telah mencuat secara blak-blakan mencalonkan dirinya sebagai calon presiden 2009. Hal ini menjadi trend baru dalam sejarah perpolitikan Negara Indonesia.

Menurut saya, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan trend itu muncul: Pertama, kaum muda Indonesia sudah bosan dipimpin oleh kaum tua terus yang tidak sepenuh hati mementingkan rakyat. Kedua, kaum muda terinspirasi Barack Obama, calon presiden AS, yang berhasil mengalahkan rival-rivalnya di kubu demokrat untuk mendekati kursi kepresidenan AS.


Dua hal inilah saya kira yang menjadi amunisi kaum muda untuk berani tampil di kancah politik Indonesia, baik melalui jalur partai maupun independen.

Harus diakui, masalah kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan sosial, hegomoni asing, serta sederet masalah lainnya di negeri ini membuat banyak pihak prihatin. Negara Indonesia seperti berjalan di tempat. Semua kebijakan oleh setiap peralihan pemerintah tetap saja tidak ada perubahan berarti. Naasnya, setiap pemilu ke pemilu Indonesia dipimpin oleh orang yang itu-itu saja. Hal ini menimbulkan rasa bosan bagi pelbagai pihak.

Pemilu 2009 adalah kesempatan untuk mengadakan regenerasi pemimpin. Maka tak ayal lagi, figur muda yang dianggap sebagai progresif, dinamis, dan berani, harus memenangkan pemilu tersebut. Dalam konteks inilah, Eko Prasetyo menulis buku berjudul Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!:Soekarno, Semaoen, Moh Natsir (2008). Krisis kepemimpinan yang notabene-nya kaum tua itu dari waktu ke waktu terasa menjengkelkan untuk seorang Eko. Dia membeberkan beberapa kenyataan para pemimpin Bangsa Indonesia, di antaranya bahwa mereka telah tergoda untuk menyalahgunakan tiga hal, di mana ketiga hal itu kemudian menjelma menjadi "setan". Ketiga "setan" itu adalah kapitalisme (kemakmuran untuk segelintir orang), militerisme (bersenjata siap mengamankan modal), dan feodalisme (watak kolot yang memasung demokrasi).

Walhasil, akibat terpedaya oleh ketiga "setan" tersebut, kaum tua itu lupa daratan sehingga gagal menjalankan peran transformatifnya dalam mengawal perubahan Indonesia. Bagi Eko, pemimpin muda adalah sebuah keniscayaan. Uniknya, selain melihat fenomena di atas, Eko juga menelusuri lewat sejarah Indonesia sendiri. Adalah sebuah fakta bahwa Bangsa Indonesia pada awal pasca kemerdekaan dipimpin oleh para kaum muda. Sedikitnya ada tiga tokoh yang disebutkan Eko, yaitu Soekarno, Semaoen, dan Moh Natsir. Ketiganya masih berusia belia kala itu, sekitar 20-an, saat melakukan perubahan sosial di Indonesia.

Maka, sudah sejatinya kaum muda berguru pada ketiga tokoh legendaris Indonesia tesebut yang terbukti mampu membawa Indonesia keluar dari belenggu penjajahan (pada waktu itu). Ketiganya pula mampu menjinakkan tiga "setan" yang telah disebutkan di atas yang hendak merongrong Indonesia. Kolonialisasi pun tidak mampu menjungkirbalikkan mereka. Mereka juga sangat dekat dengan rakyat. Hal itu dapat dibuktikan dengan life style ketiganya, yaitu populis, kekeluargaan, dan proletarian. Konon, Bung Karno menaruh di atas meja makannya sebuah lukisan pengemis, agar dia selalu ingat pada rakyat saat dirinya tengah makan.

Semaoen pun tak jauh beda dengan Soekarno, dia sangat memerhatikan kaum tertindas, marginal, petani, buruh, dan semacamnya. Gagasan-gagasannya dia sampaikan dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya, serta dijawantahkan lewat partai Sarikat Islam. Begitu pun dengan Moh Natsir yang memperjuangkan spirit sosialisme Islamnya. Tak aneh jika dia dekat dengan siapa pun, mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas; dengan kalangan Islam sendiri maupun dengan non-Islam. Dnegan begitu sosoknya begitu dikagumi oleh siapa pun, baik kawan maupun "lawan".

Sekali lagi, ketiga orang tersebut mampu "membunuh ketiga setan" di usianya yang relatif muda. Tentu saja, pada waktu itu tidak hanya ketiga orang muda itu saja, tetapi masih banyak kaum muda lainnya yang ikut ambil bagian dalam pembebasan tanah air Indonesia dari penjajahan.

Senin, September 15, 2008

Islam Agama Toleran


Judul Buku :Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Fitrah, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 520 Halaman
------------------------
Dalam umat beragama teks mempunyai posisi signifikan yang dapat menentukan kapasitas seseorang dalam menyikapi hidupnya. Dimulai dari kitab suci beserta tafsirannya hingga buku-buku keagamaan lainnya adalah sebuah bukti bahwa teks benar-benar mempunyai “kekuatan” untuk mengubah paradigma seseorang di dalam berpikir dan bertindak. Tidak berhenti di situ saja, teks juga mampu membuat gaya hidup (life style) seseorang dalam hal beragama.

Jika kita tilik sejarah Islam, teks dijadikan pesan untuk kehidupan umat muslim. Hal itu dapat kita lihat adanya ribuan tafsir yang beraneka ragam dari berbagai daerah yang berpenduduk muslim, padahal itu hanya berasal dari satu teks, yaitu Alquran.



Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang pada hakekatnya tak lain adalah sebuah teks dijadikan sebagai pedoman hidup kaum muslim di dunia. Melihat fenomena yang istimewa itu, Nasr Hamid Abu Zayd, seorang Cendekiawan Mesir yang tinggal di Belanda, mengatakan bahwa peradaban Islam sesungguhnya adalah peradaban teks. Hal ini dapat kita maklumi karena pada kenyataannya semua teks keagamaan di dalam Islam dijadikan poros utamanya.

Melihat kenyataan di atas timbul persoalan bagaimana cara “membaca” teks keagamaan yang baik? Pertanyaan ini penting untuk kita ajukan karena tidak sedikit di sekitar kita yang membaca teks keagamaan secara otoriter sehingga terjebak pada otoritarianisme. Mereka yang terjebak pada paham ini menafsirkan secara otoriter, yaitu memaksakan hasil ‘pembacaannya’ dari teks keagamaan pada orang lain tanpa tedeng aling-aling. Dalam benak mereka, kebenaran hanya ada dalam pembacaannya. Maka dapat dipastikan sikap seperti itu sama sekali tidak akan mempunyai sikap toleransi pada orang yang bersebrangan hasil pembacaannya. Mereka cenderung puritan dan mudah mencap seseorang dengan label kafir, munafik, murtad, dan yang lainnya.

Pembacaan seperti di atas akan memunculkan radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme. Teks-teks keagamaan, mereka tafsirkan secara tekstual, kaku, rigid dan tidak fleksibel. Penafsiran seperti itu sesungguhnya hanya pada tataran permukaan saja, dan sama sekali tidak menyentuh ‘makna dalam’nya (deap meaning).

Akibatnya sudah dapat diduga yaitu membuat konflik baik dengan sesama penganut agama yang berlainan penafsiran, maupun antarumat beragama karena memaksakan ‘kebenaran’nya dan tidak menerima ‘kebenaran’ orang lain. Sikap yang egois seperti itu akan menafikan pluralisme pemahaman keagamaan yang berada di tengah-tengah masyarakat heterogen dan dunia global. Selain itu sikap demikian tidak akan dapat membangun keharmonisan dalam kerukunan hidup antarumat beragama.

Zuhairi Misrawi, seorang cendekiawan muda Indonesia amat prihatin melihat fenomena umat beragama yang tidak toleran dan egois seperti di atas, terutama dalam memahami Alquran. Keprihatinannya itu ia gambarkan dengan apik dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (2008). Oleh karena itu ia mencoba menggagas kembali bahwa Alquran harus dirumuskan kembali penafsirannya dengan mencari dan mengutamakan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua pihak dalam rangka membangun masyarakat madani; terbuka dan toleran. Maka yang ia lakukan kemudian adalah menafsirkan beberapa ayat yang berbicara perihal toleransi.

Buku yang ditulis Zuhairi ini sangat representatif untuk dijadikan rujukan mengenai pandangan Alquran terhadap kehidupan umat beragama. Pembahasan mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan kata kunci “toleransi” begitu lengkap. Kata kunci itu begitu penting dan hakiki dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Maka di sinilah letak pentingnya buku ini, yaitu dapat menemukan kunci kehidupan umat beragama: toleransi. Dengan kata lain, toleransilah yang dapat mendamaikan kehidupan umat beragama.

Substansi dari toleransi adalah ketulusan, kejujuran, dan menerima perbedaan baik tindakan maupun pemikiran. Semua manusia, dalam konteks toleransi, tidak dipandang dari segi perbedaannya, melainkan segi persamaannya, yaitu sesama makhluk Tuhan yang mempunyai hati nurani dan akal budi. Perbedaan tentu sudah menjadi keniscayaan dan kodrat dari Tuhan. Singkatnya, perbedaan adalah suatu hal yang sunnatullah (hlm. 11).
Harus disadari bahwa hidup ini identik dengan perbedaan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar sama, yang ada hanya ‘persis’ dan ‘nyaris’ saja. Itulah hukum alam yang sudah digariskan oleh Tuhan. Dari sini saja kita dapat mengambil hikmahnya. Karena itu, dalam konteks kerukunan umat beragama, untuk menyikapi perbedaan kita memerlukan sikap toleransi yang dapat mempersatukan antara satu dengan yang lainnya baik di lingkungan antaragama maupun intra-agama.

Salah satu perangkat lunak dari toleransi adalah inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Tiga perangkat tersebut menerapkan suatu toleransi aktif, yaitu menyelenggarakannya secara terbuka dengan mengadakan model-model dialog dan kerjasama. Inilah buku yang secara panjang lebar dan mendalam menjelaskan ketiga perangkat dalam membangun toleransi, terutama dalam konteks antaragama dan intra-agama. Salah satu poin penting dari buku ini adalah hendak mengharapkan kebersamaan di tengah-tengah perbedaan dan keragaman. Indonesia membutuhkan hal semacam itu. Untuk itulah buku ini sangat penting dibaca untuk semua kalangan.

Menulis Buku Best Seller Untuk Orang Sibuk


Judul: Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller
Penulis: Edy Zaqeus
Kata pengantar: Jennie S. Bev
Cetakan: 1&II, September 2005
Penerbit: Gradien Books
Jumlah halaman: 183 halaman

Ada dua tema besar dalam buku ini: bisakah orang sibuk menulis? Dan bagaimana menjadikan bukunya menjadi best seller? Biasanya orang sibuk sering menggerutu ingin menulis buku tapi tak bisa menyempatkannya. Mereka punya banyak ide tapi saat ingin dituangkan pikirannya menjadi macet.

Untuk itu penulis buku ini memberikan beberapa triknya, di antaranya berani menyempatkan waktu menulis berapa pun durasinya, merekam terlebih dahulu apa yang ingin ditulis, serta mulai menulis dari hal yang disukainya apa yang kita tulis.
Edy Zaqeus, penulis buku ini, membagi tiga tipe orang sibuk. Pertama, tipe orang yang benar-benar full time sibuk dengan pekerjaannya secara totalitas. Orang jenis ini hampir tak ada waktu longgar untuk urusan di luar pekerjaannya.

Kedua, tipe orang yang sibuk namun mempunyai sedikit waktu luang, yang biasanya (waktu tersebut) dihabiskan untuk rekreasi bersama keluarga atau menjalankan hobinya. Ketiga, tipe orang yang serupa dengan tipe kedua, namun perbedaannya orang ketiga ini tidak memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan produktif (hlm. 38).

Namun sebetulnya, ujar penulis buku ini, sesibuk apa pun, semua orang bisa menulis karena semua itu tergantung tekad dan hasrat orang tersebut. Lantas, Edy pun membuktikannya dengan dua hal. Pertama, ia melihat dari sisi waktu yang digunakan orang sibuk mulai dari bangun tidur, berangkat kerja, hingga beranjak tidur kembali (hlm. 46). Ternyata, banyak waktu sebetulnya yang bisa digunakan untuk menulis.

Misalnya, saat berada di perjalanan menuju kantor atau menunggu makan siang. Apalagi waktu pada hari libur di akhir pekan (sabtu-minggu). Tentu, sangat bisa sekali.

Kedua, ia melihat pada orang-orang sibuk yang produktif menulis seperti Hari Subagya dan Anand Krishna. Hari Subagya adalah direktur perusahaan kosmetik. Setiap harinya dihabiskan di kantornya. Namun, ia bisa menyempatkan menulis yaitu pada pukul 2 dini hari setelah ia melakukan shalat tahajud. Hasilnya adalah dua buku larisnya yaitu Time to Change dan Success Proposal.

Sementara Anand Krishna—mantan pengusaha dan sekarang menggeluti meditasi dan pembicara yang banyak mendapatkan udangan—membiasakan menulis antara pukul 22.00 hingga larut malam, bahkan disambung pada pagi harinya. Hasilnya, sekitar 40 buku telah diterbitkan.

Adapun cara-cara agar menulis buku bisa lancar ialah bisa dengan teknik wawancara dan tanya jawab. Teknik wawancara, misalnya, bisa digunakan oleh kita terhadap para pengusaha sukses yang kita tulis percikan-percikan pendapatnya mengenai kesuksesannya. Hasil wawancara tersebut kita tulis dan kumpulkan, maka lama kelamaan akan terkumpul banyak dan bisa menjadi buku. Membuat buku pun bisa berbentuk tanya jawab, seperti halnya yang dilakukan oleh penulis buku ini yang berjudul Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah (2004). Dan hasilnya sungguh luar biasa. Buku tersebut mengalami 6 kali cetak ulang dalam 4 bulan pertama, dan hingga Pebruari 2005 mencapai 8 kali cetak ulang.

Buku ini sangat kaya dengan pengalaman penulis dalam dunia teks mulai dari hal-hal teknis seperti cara mendapatkan ide hingga bagaimana menawarkan ke penerbit. Setiap di akhir babnya terdapat tips-tips yang merupakan kesimpulan atau hal-hal penting dari bab tersebut. Sungguh, pembuatan tips di akhir setiap bab sangat membantu pembaca untuk mencerap setiap pesan yang disampaikan. Terutama, untuk mengingat kembali hasil bacaan kita jika kita lupa atau malas kembali membacanya.

Menurut saya, hasil racikan dari Edy Zaqeus ini sangat mujarab bagi para pesibuk yang ingin benar-benar bisa menulis, bahkan menjadi penulis best seller sekaligus.

Selasa, September 09, 2008

Politisasi Beras


Judul:Ironi Negeri Beras
Penulis: Khudori,
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Tahun: Juni 2008
Tebal: x+366 halaman termasuk indeks

Khudori, dalam opininya yang berjudul Mental Pemburu (Koran tempo, 21 agustus 2008) menceritakan bahwa masyarakat Indonesia masih bermental pemburu, salah satunya manusia pertanian. Manusia pertanian bermental pemburu adalah manusia yang dimanjakan oleh alam. Semua jenis pangan dan keperluan hidup sudah tercukupi dari alam sekitarnya. Orang tidak perlu kerja keras. Cukup tidur-tiduran saat perut lapar, tinggal pergi ke hutan atau nyemplung ke laut.

Rakyat Indonesia yang mestinya perannya benar-benar bermental petani, yang mampu memanfaatkan alam dengan teknologi yang terus berkembang, tapi malah bermental pemburu yang tidak memerhatikan proses, inginnya serba cepat dan instant. Dan

menggantungkan pada alam sepenuhnya. Konsekuensinya saat pertanian kita paceklik, rakyat Indonesia tidak bisa apa-apa, akhirnya mereka menjadi menderita. Naasnya, pemerintah memperparah keadaan itu dengan mempolitisir keadaan. Hal yang paling mencolok adalah pangan beras.

Persoalan besar nampaknya sangat dimengerti oleh Khudori. Oleh karena itu dia menulis buku berjudul Ironi Negeri Beras (2008) yang secara khusus membahas beras di Indonesia. Ada banyak alasan, salah satunya adalah me-nasi-kan seluruh pangan rakyat dari Sabang sampai Serut (bukan Merauke lagi). Padahal tidak semua orang Indonesia makan nasi. Ada daerah tertentu sudah terbiasa makan gaplek (Lampung, Jateng, Jatim), jagung (Jateng, Jatim, NT), sagu (Maluku, Irian Jaya), cantle/sorgum (NT), talas dan ubi jalar (Irian Jaya), dan itu tidak disadari oleh pemerintah yang hendak me-nasi-kan seluruh rakyat Indonesia.

Sejatinya, pemerintah berinisiatif untuk mencari cara bagaimana kita semua bisa beralih ke pangan non-beras. Sungguh tidaklah mustahil untuk melakukan hal itu, apalagi bagi kalangan menengah ke atas yang notabene-nya telah mengenal pasta, bakmi atau kentang. Inilah salah satu ciri lagi mental pemburu, kata Khudori, yaitu sulit untuk berubah dari pola lama, dalam hal ini pangan beras.

Pemerintah memang tidak melek pangan. Pangan tidak dijadikan instrument penting untuk memperoleh loyalitas rakyat. Padahal, jika penguasanya sadar, bahwa pangan adalah suatu hal yang paling dekat dengan rakyat. Jika pangan aman, rakyat pun tentram dan percaya pada penguasa. Sebaliknya, jika pangan terganggu, maka rakyat pun akan bringas.

Bahkan lebih dari itu, pada halaman 206, Khudori mengatakan bahwa pangan tak kalah penting dengan bahaya teroris, sedikit saja ada yang salah atau melakukan kebijakan yang salah dalam hal pangan, maka tak kan heran jika terjadi chaos. Dia memberi contoh, jika saja roti atau mie instant yang kita makan sehari-hari sudah dicampuri bahan tertentu yang tidak halal, pasti runyam. Contoh lain yang masih aktual adalah jenis padi Super Toy, yang dapat tiga kali panen tanpa menabur benih baru. Saat ini menjadi masalah, lantaran untuk panen kedua hasilnya mengecewakan. Akibatnya para petani rugi besar.

Persoalan pangan sepertinya memang sepele. Tapi di balik itu, sebetulnya tersimpan sesuatu yang strategis. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang bersifat jasadi, guna manusia dapat meneruskan keberlangsungan hidup. Dengan kata lain, jika seseorang menguasai pangan, maka dia sesungguhnya akan dapat menguasai siapa pun. Penguasa pangan bisa berbuat apa saja, bisa memberi keuntungan dan bisa juga memberikan kerugian pada orang lain. (halaman 207)

Oleh karena itu, jangan sampai masalah pangan dapat dikendalikan oleh penguasa yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Akibatnya bisa fatal, karena dapat mengguncang stabilitas politik Negara. Bangsa Indonesia sudah mengalami hal itu. Krisis pangan (baca: beras), mengguncang ekonomi dan politik kita, sehingga kita harus menjalani impor beras, sesuatu yang sangat ironis. Hal itu mengibaratkan bangsa kita seperti ayam mati di lumbung padi.

Tak ada jalan lain, sebagai bangsa agraris yang berbasis pangan, Indonesia harus bergerak menuju perbaikannya. Aparatur Negara harus mengomandonya, sambil terus memformulasi pelbagai cara guna mencapai ketahanan pangan, semua rencana dan rancangan pembangunan harus juga diarahkan untuk kepentingan kemajuan pangan. Terakhir, tentu saja rakyat pun menjadi bagian kemajuan pangan dalam hal ini yang mesti diberi motivasi kemudahan secara terus menerus.