Judul: Obrolan Sufi
Penulis: Robert Frager, Ph.D.
Penerjemah: Hilmi Akmal
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2013
Tebal: 395 hlm.
“Bagi seorang darwis, cinta merupakan salah satu
sifat Tuhan paling penting. Kita ada di sini untuk saling mencintai dan
memperlakukan pasangan kita sebagai kekasih. Barulah setelah itu kita dapat
mulai memahami hubungan kita dengan Sang Maha Kekasih.” (hlm. 319)
Buku ini menjadi salah satu buku wajib yang harus saya baca berulang-ulang.
Kesannya seperti lebay, tetapi mengingat kontennya yang sangat penting bagi
hidup saya rasanya tidak berlebihan. Buku ini mempunyai daya gugah luar biasa,
tidak hanya hanya pesannya tetapi juga penyampaiannya. Saya menjadikan buku ini
semacam lonceng pengingat di kala “tertidur” untuk segera “bangun”.
Salah satu ajaran tasawuf adalah mengelola ego (nafsu) dan memanifestasikan
cinta (mahabbah). Dua hal ini menjadi nafas dalam buku yang ditulis
Robert Frager ini, seorang pembimbing spiritual di California. Menurut Frager,
ada dua ancangan untuk mengatasi dan mengendalikan ego, pertama, mengubahnya
dan kedua “mengalahkannya”. Kedua hal itu dilakukan setiap saat, tak kenal
waktu, karena manusia memiliki potensi untuk tergoda. Butuh waktu yang tidak
sebentar untuk mengendalikan ego.
Frager meminjam ilustrasi dari tradisi Buddha pada saat menjelaskan
bagaimana cara menaklukkan ego. Sebuah patung Sang Buddha menduduki seekor
binatang buas. Sang Buddha tidak membunuh
binatang tersebut tetapi duduk di atas dan mengendalikannya. Binatang buas itu
merepresentasikan ego. Menurut Frager, nafsu tidaklah dibunuh, tetapi
dikendalikan. Manusia tidak boleh membiarkan nafsu mengambil alih kendali. “Apa
yang harus kita lakukan adalah melatih hewan buas itu dengan kasih sayang,
cinta, dan pemahaman,” ujar Frager (hlm. 33).
Buku ini agak unik dibandingkan dengan buku-buku tasawuf lainnya, karena
ajarannya begitu membumi dan dapat dipraktikkan oleh siapa pun. Misalnya, salah
satu materinya adalah perihal pernikahan. Bagi kaum sufi jarang sekali membahas
tentang pernikahan, tapi Frager justru membahasnya dengan apik. Menikah,
menurut Frager, adalah salah satu praktik dalam mengendalikan ego dan sekaligus
memanifestasikan cinta.
Pernikahan berarti mencintai dan melayani satu sama lain. Dengan pelayanan
yang ikhlas ego pun akan luluh. Tidak ada lagi “ke-Aku-an” dalam diri suami
maupun istri. Pertengkaran hanya dijadikan bumbu penyedap saja, tidak pernah
menyeriuskan masalah-masalah sepele. Bahkan kata Frager menyitir sufi lain, “Sebuah
rumah tanpa pertengkaran yang kadang-kadang terjadi bagaikan pesta pernikahan
tanpa musik” (hlm. 312).
Menurut Frager cinta merupakan sisi batiniah dan akad nikah adalah sisi
lahiriahnya. Pernikahan adalah sebentuk ikatan kemitraan ruhani jangka panjang,
sebuah kemitraan dalam perjalanan yang akan membawa kita kembali kepada Tuhan. Mencintai
seseorang dan hidup bersamanya selama bertahun-tahun merupakan kesempatan besar
untuk tumbuh dan mengembara bersama. Kita semua adalah pengembara di jalan
Kebenaran. (hlm. 317)
Buku ini nyaman dibaca karena gaya penulisannya yang mengalir, naratif, dan
tidak dijejali oleh istilah-istilah tasawuf. Layak dibaca oleh kalangan mana
pun.[]
M. Iqbal Dawami, pegiat komunitas TADARUS BUKU, Pati.
1 komentar:
Membaca buku ini saya memang juga tertarik ingin membahas dalam resensi, tapi belum sempat. Tulisan SUHU RESENSI memang keren! :)
Posting Komentar