Senin, Agustus 04, 2008

Menjadi Dokter Tampil Beda


Judul : How Doctors Think
Penulis : Jerome Groopman, M.D
Penerbit : Canary, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 384 halaman


“Tidak selamanya berbeda itu baik, tapi yang terbaik selalu berbeda”

Pasien itu bernama Anne Dodge. Usianya 20 tahunan. Kepada 30 dokter selama rentang 15 tahun dia telah berobat. Dan penyakitnya tak urung sembuh juga. Malah justru sebaliknya, label penyakit yang dideritanya bertambah sesuai bertambahnya dokter yang memeriksa dirinya dari berbagai spesialis. Hasil diagnosanya kali pertama adalah anorexia nervosa dengan bulimia, yaitu suatu kelainan yang ditandai dengan muntah dan penolakan pada makanan.

Keadaan seperti itu membuatnya tersiksa dari waktu ke waktu. Jika keadaan tersebut tidak juga dapat diperbaiki, dia bisa mati kelaparan. Berat badannya menyusut drastis. Beratnya menjadi 36 kg. Namun, ia masih semangat hidup. Dia pun menjalani program intensif untuk menaikkan berat badannya. Maka, sepanjang tahun 2004 dia diopname empat kali, dan disuruh mengkonsumsi 3000 kalori per hari, yang sebagian besar merupakan karbohidrat yang mudah dicerna. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Penyakitnya justru semakin bertambah. Dia menderita diare dan kram usus, selain mual dan muntah yang parah. Dia mulai putus asa.

Tapi keputusasaannya tidak berlangsung lama, setelah dia bertemu dengan dokter Myron Falchuk, spesialis penyakit lambung. Pada awalnya, saat ia mendapat rekomendasi untuk berobat kepadanya, dia malas untuk mendatangi dokter tersebut, karena hanya akan menambah daftar penyakit yang dideritanya saja. Pikirnya, usahanya akan sia-sia belaka. Tapi, ternyata dia mendapat “keajaiban”. Sepanjang perawatan dokter Falchuk, Anne mendapatkan dirinya mulai membaik.

Perawatannya terbilang unik. Mestinya, dokter Falchuk mempercayai diagnosa-diagnosa dan catatan-catatan medis sebelumnya. Selain itu, dia juga harus merawat Anne sesuai rekomendasi dokter-dokter internis (ahli penyakit dalam). Tapi, dia malah tidak mengamalkan amanat-amanat tersebut. Terus, apa saja yang dilakukannya? Dia hanya banyak bertanya dan mendengarkan serta mengamati cerita Anne dari A sampai Z. Dia melakukan sesuatu yang berbeda dan dari sudut yang berbeda pula, demi mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dan dengan melakukan itu, dokter Falchuk menyelamatkan hidup Anne. Penyakit Anne pun berangsur sembuh.

Secara tidak langsung, buku How Doctors Think sesungguhnya dibuat berdasarkan hikmah dari kisah di atas. Dan tentu saja digabung dengan pengalaman penulisnya sendiri, dokter Jerome Groopman. Hal itu terbukti dari kisah di atas tersebut dia tulis di Kata Pengantar-nya. Sungguh, betapa banyak para dokter—bahkan calon dokter—yang tidak berpikir dari sudut pandang lain. Jerome Groopman, penulis buku tersebut, merasa prihatin dan menyesal atas kurangnya tanya-jawab di kalangan (calon) dokter dan pada dirinya sendiri pada saat menjadi calon dokter. Mereka, lanjut dia, walau cerdas tapi gagal untuk berkomunikasi—bertanya secara serius, atau mendengarkan dengan seksama, serta mengamati dengan konsentrasi—secara intens dan baik (hlm.9).

Melihat fenomena di atas, sang penulis bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terlintas di benak seorang dokter saat memeriksa pasien? Pertama-tama harus dipahami bahwa dunia kedokteran adalah dunia yang tidak pasti. Tiap dokter dapat membuat kesalahan dalam diagnosis dan perawatannya. Maka, pertanyaan di atas sebenarnya sangat penting untuk dijawab oleh seorang dokter, karena frekuensi dan tingkat kesalahan dapat diminimalisir dengan memahami bagaimana dokter seharusnya berpikir atau bagaimana ia dapat berpikir lebih baik lagi (hlm.14).

Oleh karena itu, buku ini teramat penting bagi para dokter, calon dokter, dan (bahkan) kaum awam sekalipun. Mengapa kaum awam penting membacanya? Karena dokter, sebenarnya sangat membutuhkan informasi yang banyak, yang dia dapatkan dari pasien dan keluarganya. Tanpa bantuan kaum awam (baca: pasien dan keluarganya) dokter dapat saja melewatkan petunjuk penting. Penulis buku ini sendiri mengakui hal itu, bahwa betapa pentingnya seorang pasien memberikan informasinya kepada sang dokter perihal kronologi penyakitnya. Dan dia mendapatkan pelajaran tersebut, bukan saat berperan sebagai dokter, tapi justru ketika dia tengah sakit, alias menjadi pasien.

Mari kita lihat kasus Anne kembali, bahwa setelah serangkaian tes dan prosedur, sebetulnya perkataan Anne-lah yang memberi petunjuk bagi dokter Falchuk sehingga dapat memberi diagnosis yang tepat. Dan dari kasus tersebut dapat kita katakan bahwa bahasa merupakan dasar dari praktek medis.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dari buku ini adalah mencoba menguraikan tentang bagaimana kita mempelajari pikiran seorang dokter dari apa yang dia katakan dan cara dia mengatakannya. Jerome menjelaskan bahwa bukan hanya penjelasan klinis yang dapat disimpulkan pasien dari dokternya, tapi pasien pun dapat menilai temperatur emosionalnya. Umumnya, dokterlah yang menilai kondisi emosional kita, tapi jarang ada yang menyadari seberapa besar pengaruh perasaan dan temperamen atas penilaian medis sang dokter (hlm.16).

Melalui buku ini, kita ternyata dapat tahu banyak tentang mengapa seorang dokter menyatakan diagnosis tertentu dan menyarankan suatu perawatan, bahkan dalam momen singkat sekalipun. Dus, buku ini hendak mengatakan bahwa betapa pentingnya memperhatikan kata-kata dan perasaan seorang dokter. Karena jika tidak, itu akan memengaruhi cara perawatan sang dokter sendiri. Akibatnya sang pasienlah yang menjadi korban.

Penyajian buku ini sangat menarik. Bahasanya yang ringan dan disertai pemaparan naratif membuat kita tidak akan jemu membacanya. Tapi, justru sebaliknya, kita akan larut dan terhanyut di dalamnya, seperti halnya kita tengah membaca sebuah novel. Dan perlu juga diktehaui, ketebalan buku ini mencapai 384 halaman. Sungguh, buku semacam ini dalam dunia kedokteran jarang kita temukan. Maka tak aneh majalah Time saja berkomentar bahwa buku How Doctors Think, “Harus menjadi bacaan wajib bagi dokter yang peduli pada dokter, dan bagi pasien yang ingin mendapatkan perawatan terbaik.”

Tidak ada komentar: