Kamis, Agustus 14, 2008

Gereja Undercover


Judul Buku: Gereja dan Penegakan HAM
Penulis: George Junus Aditjondro, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2008
Tebal: 251 halaman

Percayakah Anda, bahwa institusi keagamaan pun dapat terjangkit virus korupsi? Jika tidak percaya, buku Gereja dan Penegakan HAM adalah jawabannya. Buku tersebut berisikan adanya korupsi di lingkungan gereja. Tak berlebihan jika buku tersebut diberi judul seperti itu, karena korupsi memang sebuah bentuk kejahatan yang dapat mencapai pada level Hak Asasi Manusia (HAM). Bagaimana tidak, jika salah seorang dalam institusi ada yang korupsi maka dia sesungguhnya telah merugikan institusi tersebut.

Nah, buku karangan George Junus Aditjonro, dkk. ini telah membongkar pelbagai peristiwa pelanggaran di lingkungan gereja, khususnya perihal korupsi, dan umumnya perihal HAM. Dan secara keseluruhan dapat kita lihat betapa "petinggi-petinggi" gereja telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, di antaranya adalah memanipulasi bantuan jemaahnya. Pada kasus dana bantuan dari jemaah Gereja Kristen Sulawesi (GKST) untuk korban tsunami Aceh, misalnya, telah disalahgunakan dana yang berjumlah 27.538.450 dari hasil pengumpulan jemaah di atas tidak disalurkan, malah masuk pada institusi yang dipercaya. Dalam hal ini adalah Majelis Sinode (MS) GKST.
Bahkan ternyata tidak hanya itu, MK GKST juga tidak menyalurkan sepenuhnya bantuan dari para jemaah untuk korban bom di Pasar Tentena. Jumlah Rp 338 juta tapi yang disalurkan hanya Rp162 juta. Sisanya, Rp. 25 juta masuk pada MS GKST. Fakta Itu hanyalah sekelumit bukti untuk satu lembaga mengenai korupsi yang terjadi di institusi keagamaan. Masih banyak lagi lembaga-lembaga lainnya yang dibeberkan dalam buku tersebut.
Sungguh ironis sebetulnya kenyataan di atas. Satu sisi gereja adalah tempat mendekatkan diri pada Tuhan dan penyucian jiwa, tapi ternyata sisi lain menjadi sarang koruptor yang membungkus pelakunya dengan baju agama. Berbagai bantuan materi jemaah yang dipercayakan kepada gereja, ternyata disalahgunakan. Sebuah hal yang paradoks itu, sungguh tak terduga dan tak disangka. Masyarakat seratus persen percaya bahwa menyalurkan bantuan melalui instansi keagamaan (baca: gereja) adalah langkah yang tepat. Mereka menganggap tak akan terjadi penyelewengan-penyelewengan karena orang-orangnya mesti paham dan mempraktikkan ajaran-ajaran agama.
Tapi ternyata praduga itu salah. Pesan agama, dalam hal ini adalah pesan Yesus, untuk mengasihi sesama manusia ternyata tak digubris juga. Pengelola gereja ternyata "mata duitan". Mereka menjadi serakah dan gelap mata saat melihat setumpuk uang di tengah kekuasaannya.
Penyebab terjadinya penyalahgunaan bantuan tersebut adalah tidak adanya transparansi tentang keluar-masuknya dana bantuan itu. Ketidakadaan itu dijadikan kesempatan oleh oknum-oknum gereja. Maka tak ayal lagi, para elite gereja harus menjadi suri tauladan dan pionir dalam hal ini. Mereka harus transparan, amanah, dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana bantuan jemaahnya. Jika terjadi penyelewengan, mereka harus segera memprosesnya, bukan malah menutupinya. Jangan sampai kaum elit gereja, entah itu pendeta, maupun biarawati, menjadi rusak citranya dan kehilangan wibawa serta kepercayaan dari para jemaahnya, khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Bahkan tidak berhenti di situ, citra Tuhan pun menjadi ikut rusak. Padahal, sebagaimana dikatakan Paulus bahwa citra Tuhan adalah menebarkan cinta kasih sayang terhadap seluruh alam semesta. Oleh karena itu, masalah korupsi ini harus benar-benar diperhatikan oleh semua elemen yang terkait dengan instansi keagamaan. Bahkan harus ditangani pengelolaannya secara profesional, agar tidak terjadi KKN.
Dus, buku ini sangat penting bagi pemerhati sosial-keagamaan. Lebih khususnya lagi adalah kaum Kristen. Namun, buku ini sesungguhnya menyentil bagi lembaga keagamaan apa pun, termasuk Islam. Karena, tak menutup kemungkinan di institusi keislaman pun terjadi praktik seperti ini. Terlebih-lebih masjid lebih banyak jumlahnya dibanding gereja. Belum lagi lembaga-lembaga lain yang mengatasnamakan atau berlabel Agama Islam. Oleh karena itu, fakta yang dibeberkan dalam buku ini menjadi cermin bagi umat Islam juga. Tidak mustahil terjadi, bukan?

Tidak ada komentar: