Rabu, Agustus 06, 2008

Memoar Tentara Cilik


Judul : A Long Way Gone – Memoar Seorang Tentara Anak-Anak –
Penulis: Ishmael Beah
Penerjemah : Cahya Wiratama
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Edisi : I, Februari 2008
Tebal : 316 halaman

Bisakah Anda membayangkan bagaimana perasaan seorang anak-anak berada di tengah-tengah konflik bersenjata? Menderita? Itu adalah hal pasti yang dirasakan semua orang. Tapi, bagi anak-anak bisa lebih dari itu. Ketakutan akan kematian plus pisah dari orangtua dan saudara adalah dua sisi mata uang. Dan tahukah Anda bahwa konflik bersenjata terkadang memunculkan fenomena baru, yaitu adanya perekrutan anak-anak untuk menjadi tentara/pejuang?


Ya, setidaknya itulah yang dibuktikan oleh Ishmael Beah. Melalui bukunya, yang tak lain adalah memoarnya sendiri berjudul A Long Way Gone – Memoar Seorang Tentara Anak-Anak, menggambarkan bagaimana perjalanan seorang tentara anak di Afrika Barat. Pada tahun 1993 usia Ishmael 12 tahun. Waktu itu dia sudah ada dalam kamp pengungsi. Bersama kakak dan temannya dia mengikuti pertunjukan bakat di kota Matru Jong. Ketika di sana dia mendengar kabar bahwa desa kelahirannya diserang kaum pemberontak RUF (Revolutionary United Front). Mereka pun bertiga pergi ke sana hendak mencari tahu kondisi orangtua dan saudara-saudara lainnya. Sesampai di sana mereka tidak menemukan saudaranya satu pun. Nah, dari situlah mereka memulai perjalanan tak berujung demi menemukan anggota keluarga dan menyelamatkan diri dari kekejaman perang.
Dalam setiap perjalanan pencarian selalu mempunyai pengalaman tersendiri. Tapi, satu hal yang selalu sama dialaminya yaitu selalu dalam ancaman pembunuhan. Harus diketahui bahwa setiap perbatasan desa dijaga oleh para penjaga desanya masing-masing, walau sesungguhnya mereka adalah para relawan, bukan tentara. Ia dan para pengungsi lainnya selalu dicurigai oleh penduduk yang dilewatinya, sebagai mata-mata pemberontak.
Suatu hari saat terjadi bentrokan dengan para pemberontak, Ishmael terpisah dari kelompoknya dan bergabung dengan kelompok lainnya. Bersama kelompok ini, ia pergi menuju desa Yele, tempat aman di bawah kekuasaan Sierra Leone, para penumpas pemberontak RUF. Tapi ternyata justru mereka masuk “mulut buaya”, lantaran desa tersebut ternyata sudah diduduki oleh para pemberontak RUF. Maka, secara tidak langsung mereka menyerahkan diri pada pemberontak. Ishmael bersama laki-laki lain dijadikan tahanan, terus dicuci otaknya serta dilatih menjadi tentara. Walau dia masih anak-anak, bersama laki-laki lainnya juga yang sebaya, sudah dianggap dewasa dan harus menjadi tentara para pemberontak. Kekurangan personel militer adalah alasan logis untuk merekrut mereka menjadi tentara. Setelah dilatih, maka resmilah dia menjadi tentara (anak-anak). Dan agar lebih berani, anak-anak itu pun diberi narkoba dengan macam-macam campuran.
Tulisan yang berdasarkan pengalaman ini benar-benar “hidup”, yang mampu memiris hati kita yang membacanya. Sketsa perang yang sesungguhnya masih bersaudara itu begitu tergambar jelas, di mana satu sama lain saling membunuh tanpa rasa bersalah. Nyawa-nyawa sepertinya sudah tidak berharga lagi.
Kelihaiannya dalam melukiskan perjalanan pribadinya, serta memukau para pembaca di Barat sana, buku memoar ini berhasil mendapat predikat salah satu buku nonfiksi terbaik 2007 dari Publisher Weekly. Sedang oleh toko buku maya, Amazon.com, dimasukkan pada daftar sepuluh besar buku terbaik 2007. padahal buku ini dituduh memanipulasi sejarah. Misalnya adalah penyerangan pemberontak RUF di kota Matru Jong terjadi pada 1995, bukan 1993 sebagaimana diceritakan Ishmael. Oleh karena itu, sesungguhnya Ishmael diyakini menjadi tentara anak selama beberapa bulan di usia 15 tahun, bukan selama beberapa tahun seperti yang Ishmael tuturkan.
Buku ini, paling tidak membuka mata dan pikiran kita bahwa anak-anak usia di sekitar 20 tahun-an sangat digemari untuk direkrut menjadi tentara relawan di daerah-daerah konflik. Mereka akan dilatih dan dicuci otaknya untuk menyerang musuh mereka dan membela daerah atau pun keyakinan mereka. Bukankah ini sangat berpeluang di masyarakat kita?

2 komentar:

Nulani Sapiie mengatakan...

Menarik resensi ini. Tapi penulisan yang berjejal-jejal tanpa ada keleluasaan ruang, sungguh membuatnya kurang nyaman dibaca, padahal : perlu.

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Terima kasih apresiasinya. Masukannya sudah sy laksanakan.Trims.